Jakarta – Rencana impor 1 juta ton beras yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi masih menjadi pembahasan panas di muka publik. Rencana itu bahkan tak didukung oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas), yang meyakini produksi dalam negeri cukup memenuhi kebutuhan beras masyarakat.
Impor beras sendiri pernah dilakukan pada tahun 2018 sebanyak 1,8 juta ton. Namun, stok beras impor itu tak kunjung habis sampai sekarang dan sudah turun mutu. Bahkan, ada 200.000 ton beras impor tahun 2018 yang masih tersisa sampai saat ini, dan dari angka tersebut ada 106.000 ton yang terancam rusak atau membusuk.
“Sisa dari beras impor kurang lebih 200.000 ton, ini ada potensi rusak itu 106.000 ton beras impor. Kalau dari dalam negeri itu aman,” kata Buwas dalam webinar PDIP, Kamis (25/3/2021).
Buwas pun menceritakan lagi bagaimana pengalaman impor beras 1,8 juta ton yang pada akhirnya sulit disalurkan, hingga terancam membusuk.

Ia mengatakan, impor beras kala itu dikarenakan cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog hanya 600.000 ton, sementara Bulog punya tugas menyalurkan bantuan sosial (Bansos) beras sejahtera (Rastra) sebanyak 2,6 juta ton per tahun.
“Nah, akibatnya sisanya yang ada CBP 600.00 ton karena penyerapan Bulog saat itu, hanya sebesar itu, maka waktu itu diperintahkan untuk impor,” terang Buwas.
Sayangnya, pada tahun 2019 pemerintah menghentikan program Bansos Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Dalam program BPNT, Bulog tak lagi menjadi pemasok utama. Akibatnya, beras yang diimpor sulit tersalurkan dan menumpuk di gudang Bulog.
“Dengan Rastra hilang, sudah tidak lagi menggunakan CBP, Bulog kehilangan pasar. Sementara, jumlah yang ada di Bulog tetap besar,” ungkap Buwas.
Pada saat kualitas beras impor masih baik pun menurut Buwas penyalurannya sulit. Pasalnya, jenis beras impor tak sesuai dengan jenis beras yang biasa dikonsumsi mayoritas masyarakat Indonesia.
“Dalam sisa yang ada, beras di Bulog dengan 1,8 juta ton ini bermasalah impornya. Kenapa bermasalah? Berasnya tidak jelek, bagus. Persoalannya 1, jenis beras yang diimpor kebanyakan jenisnya pera. Pera itu tidak mayoritas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia,” tutur dia.
Oleh karena itu, beras impor tersebut pun harus disalurkan dengan cara dicampur dengan beras produksi Tanah Air.
“Bulog ketika menyalurkan dalam kegiatan apapun harus dicampur dengan beras dalam negeri. Paling tidak perbandingannya 1:1 agar bisa diterima masyarakat kita,” pungkasnya.
(Vdl/dna/detik)