30 Ribu Warga Inggris Jadi Korban Skandal Transfusi Darah, Ada yang Kena HIV

0
Jakarta – Inggris dihebohkan sebuah skandal transfusi darah yang membuat orang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hepatitis. Dari laporan penyelidikan yang terungkap, kejadian tersebut terjadi selama periode 1970 hingga 1980-an dan membuat 30 ribu orang terinfeksi penyakit menular seperti HIV dan hepatitis akibat transfusi darah yang terkontaminasi.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengatakan bahwa ia benar-benar menyesal atas kejadian skandal transfusi darah tersebut dan menyebut situasi tersebut sebagai kegagalan moral yang telah berlangsung puluhan tahun. Akibat kejadian tersebut, 3 ribu orang sudah dilaporkan meninggal dunia dan jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah.

Laporan tersebut menemukan bahwa pihak berwenang menutup-nutupi skandal tersebut dan membuat korban masuk ke dalam risiko yang tidak dapat diterima. Laporan juga menyebutkan bahwa para korban telah diabaikan berulang kali oleh dokter, National Health Service (NHS), dan pemerintah.

“Laporan hari ini menunjukkan kegagalan moral selama puluhan tahun di jantung kehidupan nasional kita. Saya ingin menyampaikan permintaan maaf yang sepenuh hati dan tegas,” kata Sunak dikutip dari BBC, Selasa (21/5/2024).

Akibat kejadian tersebut, Sunak menuturkan pihaknya bersedia untuk membayar berapapun ganti rugi untuk para korban.

Skandal darah terinfeksi dikenal sebagai bencana kesehatan terbesar di NHS. Penyelidikan ini mengamati pengambilan keputusan selama lebih dari 50 tahun sebelum, selama, dan setelah ribuan orang terinfeksi melalui transfusi darah dan produk darah yang terkontaminasi sejak tahun 1970-an.

Penyelidikan selama lima tahun menemukan bahwa keselamatan bukanlah hal terpenting dalam pengambilan keputusan dan menunjukkan bahwa risiko penularan infeksi virus dalam darah dan produk darah telah diketahui sejak berdirinya NHS pada tahun 1948.

Berdasarkan laporan tersebut, masyarakat telah dihadapkan oleh risiko yang tidak dapat diterima meliputi:

1. Masih adanya impor produk darah dari luar negeri, termasuk darah dari donor berisiko tinggi di AS ketika para tahanan dan pecandu narkoba dibayar untuk memberikan darahnya, meskipun ada janji untuk swasembada darah.

2. Kegagalan pihak perizinan untuk mengakui bahwa produk-produk tersebut tidak aman dan tidak seharusnya diberi izin untuk digunakan.

3. Sumber donor darah yang berkelanjutan juga berasal dari populasi berisiko tinggi di Inggris, seperti narapidana, hingga tahun 1986.

4. Membutuhkan waktu hingga akhir tahun 1985 untuk produk-produk darah bisa mengeliminasi HIV (Human Immunodeficiency Virus), meskipun risikonya telah diketahui sejak tahun 1982.

5. Pemerintah mengabaikan peringatan pada tahun 1983 dari salah satu pakar penyakit menular terkemuka di Inggris Dr Spence Galbraith bahwa semua produk darah impor dari AS harus dihentikan dari penggunaan NHS sampai risiko HIV telah ‘diklarifikasi’.

6. Kurangnya pengujian sejak tahun 1970-an dan seterusnya, untuk mengurangi risiko hepatitis, termasuk menjadi salah satu negara maju terakhir yang memulai skrining hepatitis C ketika tes yang akurat akhirnya ditemukan.

7. Penundaan hingga empat tahun, setelah diperkenalkannya skrining hepatitis C. Sebelum upaya untuk melacak mereka yang sudah terinfeksi, penyakit ini dapat tetap aktif selama beberapa dekade dan diperkirakan ratusan orang masih belum terdiagnosis.

(avk/kna/detik)