Kasus-kasus tersebut lebih banyak ditemukan di Pulau Jawa dengan dominasi domisili DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Banten. Menurut Vero, sapaannya, jumlah perempuan dengan pilihan childfree di Indonesia masih lebih sedikit ketimbang kelompok keluarga dengan banyak anak.
Hal ini dikarenakan kerap beredar anggapan yang melekat di masyarakat yakni ‘banyak anak banyak rezeki’. Meski begitu, ia tidak menampik kemungkinan fenomena tersebut muncul pada wanita dengan level pendidikan lebih tinggi.
“Jadi kalau untuk perempuan yang sudah teredukasi, mereka ngerti bahwa anak itu menjadi sebuah beban kalau kita tidak memberikan yang terbaik dengan kualitas,” kata dia saat ditemui di kawasan Jakarta Barat, Kamis (14/11/2024).
“Akhirnya mereka memilih, saya saja nggak bisa kasih kualitas saya dengan baik, ngapain saya punya anak. Mungkin itu beda kalau ibu-ibu yang tidak teredukasi, perempuan yang tidak teredukasi, itu kan terjadi pernikahan dini,” sambungnya.
Pernikahan dini terjadi saat dilakukan sebelum usia 19 tahun. Hal ini jelas berdampak pada minimnya edukasi seorang ibu untuk membesarkan anak.
Pada usia tersebut, wanita juga dinilai belum secara ideal memiliki kesiapan mental dalam mengurus anak yang tentu bisa berdampak pasa kesehatan mentalnya.
“Belum sampai umur 19 saja sudah menikah, tapi tanpa tahu jangka panjangnya itu punya anak. Terus kadang-kadang karena nggak diizinkan suami menggunakan KB, akhirnya banyak sekali justru perempuan-perempuan yang belum teredukasi itu punya anak banyak,” sorot dia.
“Dan ini menjadikan beban dan ke mental health akhirnya,” pungkasnya.
(naf/sao/detik)