Fakta-fakta ini dihimpun detikcom dari berita CNN, Reuters, Aljazeera, The Guardian, dan UNRWA hingga Kamis (2/11/2023) pukul 19.00 WIB.
Lokasi kamp pengungsi Jabalia ada di Jalur Gaza bagian utara, lokasinya ada di dekat desa dengan nama yang sama. Ini adalah kamp pengungsi terbesar di antara delapan lokasi yang ada di Gaza. Lokasi pengungsian ini sudah ada sejak pasca-perang 1948.
Dilansir dari situs UNRWA, kamp Jabalia ini punya luas 1,4 kilometer persegi dengan 116.011 orang pengungsi di dalamnya. Sebenarnya, kamp pengungsi ini sudah overkapasitas. Shelter-shelter didirikan berdekatan satu dengan yang lainnya. Banyak orang hidup di bawah standar kelayakan di sini.
Penyerangan pertama dilancarkan Israel pada Selasa, 31 Oktober 2023, kemarin. Bangunan-bangunan di lokasi menjadi luluh lantak akibat serangan itu.
Bekas serangan mengakibatkan semacam kawah di lokasi. Kawah itu berupa semacam puing-puing yang ringsek. Di bawah puing itu, ada manusia yang menjadi korban. Semampunya, orang-orang yang selamat mengevakuasi korban yang nampak berdebu bercampur darah di wajah, termasuk di antaranya ada banyak anak-anak yang menjadi korban.
Akibat serangan kamp Jabalia pada 31 Oktober, dikabarkan ada sekitar 50 orang tewas. Versi Hamas, penguasa Jalur Gaza, ada 400 orang tewas.
Pelaku serangan ke kamp pengungsi ini adalah tentara Israel alias IDF. Setelah serangan pertama, IDF langsung muncul memberi statement mengonfirmasi bahwa pihaknyalah yang menyerang lokasi itu.
Dilansir CNN dan Reuters, adalah Juru Bicara IDF Letnan Kolonel Jonathan Conricus yang mengonfirmasi ini. Israel menggunakan jet tempurnya untuk menyerang kamp pengungsian, namun di mata Israel tempat itu adalah kompleks komando dan kendali Hamas.
Dilansir The Guardian, mantan pejabat Pentagon Marc Garlasco menganalisis dampak ledakan di Jabalia. Dia menyebut itu adalah serangan bom yang mengakibatkan kawah sekitar 12 meter. Mantan pemeriksa senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Chris Cobb-Smith, mengatakan senjata yang digunakan Israel di Jabalia adalah JDAM atau Munisi Serangan Langsung Gabungan (Joint Direct Attack Munitions) yang diluncurkan via serangan udara.
JDAM itu menggunakan Unit Bom Berpemandu atau Guided Bomb Unit (GBU) 31 (Warhead Mark 84) yakni bom multiguna atau bisa juga menggunakan GBU 56 (Warhead BLU 109) penghancur bunker. Keduanya punya bobot 900 kg. Itu semua disediakan AS untuk Israel dan dirakit Israel di bawah kontrak dengan AS.
Israel berdalih serangan ke kamp pengungsi Jabalia itu untuk memburu komandan Hamas yang mendalangi serangan ke Israel pada 7 Oktober lalu. Orang buruan Israel itu bernama Ibrahim Biari. Israel mengklaim berhasil membunuh Ibrahim Biari.
“Dia (Biari-red) sangat penting, bahkan menurut saya, sangat penting dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan 7 Oktober terhadap Israel dari bagian timur laut Jalur Gaza,” sebut juru bicara IDF Letnan Kolonel Jonathan Conricus, dilansir CNN dan Reuters.
“Dia secara aktif mengoordinasikan, mengatur, dan memimpin aktivitas tempur melawan IDF ketika dia menjadi sasaran,” ujarnya. Selain itu, Israel mengatakan ada kepala unit rudal anti-tank Hamas yang tewas yakni bernama Muhammad A’sar.
Serangan kedua terhadap kamp pengungsi Jabalia dilancarkan Israel pada Rabu, 1 November 2023 waktu setempat, atau tidak sampai 24 jam setelah serangan pertama. Asap mengepul di atas kamp. Lagi-lagi, serangan ini menimbulkan kawah yang tak jauh dari lokasi serangan pertama.
Serangan kedua ini menimbulkan korban jiwa lebih banyak. Seperti dilansir Al Jazeera, Kamis (2/11/2023), laporan terbaru Kantor Media Pemerintah Gaza yang dikuasai Hamas menyebut sedikitnya 195 orang dikonfirmasi tewas, dengan 120 orang lainnya masih hilang dan sebanyak 777 orang lainnya mengalami luka-luka.
Disebutkan juga bahwa orang-orang yang masih hilang diduga tertimbun reruntuhan bangunan yang hancur akibat gempuran Israel. Angka yang dilaporkan oleh otoritas Gaza tersebut belum bisa diverifikasi secara independen.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Gutteres menggambarkan serangan Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia itu sebagai hal yang ‘mengerikan’. Sementara Komisioner Tinggi HAM PBB mengingatkan bahwa ‘serangan yang tidak proporsional’ bisa dianggap sebagai ‘kejahatan perang’.
Sejak pasca-serangan pertama, Kepala Kemanusiaan PBB Martin Griffiths mengecam serangan ke kamp Jabalia, setelah sebelumnya dua hari yang lalu dia melakukan kunjungan ke Israel dan wilayah pendudukan Palestina.
“Ini hanyalah kekejaman terbaru yang menimpa masyarakat Gaza di mana pertempuran telah memasuki fase yang lebih mengerikan, dengan konsekuensi kemanusiaan yang semakin mengerikan,” kata Griffiths dalam sebuah pernyataan.
Griffiths mengatakan dunia tampaknya tidak mampu, atau tidak mau untuk bertindak. Ia menambahkan hal ini tidak bisa dibiarkan dan dunia perlu segera mengambil tindakan.
“Hal ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Kami membutuhkan perubahan langkah,” tegas dia.
(dnu/detik)