Beras-Minyak RI Kalah Telak di Sebatik, WNI Pilih Beli Produk Malaysia

0
Foto: Warung WNI di Perbatasan di Pulau Sebatik
Sebatik – Warung Perbatasan, tulisan yang tertera pada papan nama di depan salah satu warung makan di dekat Patok Perbatasan Indonesia-Malaysia, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Warung tersebut ialah milik Muliyati.

Meski Muliyati merupakan warga negara asli Indonesia, ia mencoba peruntungannya dengan membuka warung makan di kawasan perbatasan, tepatnya di bagian negara Malaysia. Oleh karena itu, produk-produk yang dijualnya kebanyakan merupakan produk asli Malaysia.

Muliyati mengatakan, masih banyak warga Pulau Sebatik masih menggunakan dua mata uang. Selain karena pulau ini terletak di dua negara, ternyata ringgit masih populer lantaran produk-produk Malaysia, khususnya sembako lebih laku dijual ketimbang produk lokal sendiri.

“Dua-duanya saya pakai buat belanja (ringgit dan rupiah). Kalau di toko di sana, Sungai Nyamuk, 100% rupiah. Cuma di sini aja, yang perbatasan (pakai ringgit juga),” ujarnya, ditemui di warungnya, Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, Sabtu (24/2/2024).

Di jajaran harga sembako sendiri, selisih antara harga produk keluaran Malaysia dan Indonesia terbilang cukup jauh. Muliyati mengatakan, produk beras Indonesia harganya bisa sampai Rp 130 ribu per 10 kg. Sedangkan harga beras Malaysia jauh di bawahnya, hanya sekitar Rp 90 ribuan.

Tidak hanya itu, menurutnya kebanyakan masyarakat perbatasan juga lebih memilih produk sembako lainnya seperti minyak, sayur mayur, hingga buah-buahan dari Malaysia karena akses dan ketersediannya yang lebih cepat ketimbang menjangkau produk-produk Indonesia di bagian daerah lain.

“Lebih murah, lebih enak dapatnya (produk Malaysia) daripada dari Surabaya (distributor barang). Tapi cintanya tetap Indonesia,” kata Muliyati.

Dari sisi belanja rumah tangga, menurutnya banyak juga petani setempat yang lebih memilih menjualnya ke Malaysia alias ekspor kecil-kecilan. Hal ini menjadi salah satu alasan yang membuat masyarakat mengantongi banyak ringgit.

“Petani jual hasil panen semua ringgit. Karena jual pisang, jual sawit, karet, ke sana (pengepul Malaysia). Ekspor. Boleh dikata 80% ringgit lah, hasil tani. (Jual ke Indonesia) jauh, ongkos kirimnya mahal,” ujarnya.

Pengalaman tak jauh berbeda juga dirasakan Nila, salah satu pemilik toko kelontong di Pulai Sebatik. Meski tokonya berjarak sekitar 1-2 km dari perbatasan, namun transaksi menggunakan ringgit juga masih kerap terjadi karena produk sembako Malaysia lebih laku terjual.

“Produk Malaysia (lebih laku) karena murah. Di sini prioritasnya yang mana yang murah, yang cepat laku,” sambungnya.

Oleh karena itu, menurut Nila, rata-rata toko di kawasannya menjual produk Malaysia karena permintaannya yang tinggi. Karena itulah, peredaran ringgit masih cukup banyak di wilayahnya.

“Semua toko hampir semua, rata-rata toko juga jualan produk Malaysia kayak minyak makan, kan ada lebih murah di sana. Di sana cuma Rp 16 ribu. Sedangkan barang Indonesia kurang lebih Rp 20 ribu. Bedanya lumayan jauh,” kata Nila, ditemui terpisah.

Begitu pula dengan beras. Meski beras Indonesia lebih enak dan lembut dibandingkan beras Malaysia yang keras, tapi produk tersebut tetap lebih laku lantaran harganya yang jauh lebih murah. Adapun para pedagang ini mendapatkan produk tersebut dari daerah Tawau, Malaysia.

“Dapat dari Tawau. Saya cuman pesan (lewat) HP saja, nggak datang (ke lokasi), cuma pesan online. Saya pesan, nanti kapal yang bawa. Kapal dari Tawau. Tapi kapal Indonesia sih, masuk dari sana,” jelasnya.

Wakil Bupati Nunukan Hanafiah mengatakan bahwa tantangan utama yang ada di Pulau Sebatik ialah menyangkut akses logistik. Akibatnya, harga produk-produk RI di Pulau Sebatik lebih mahal ketimbang Malaysia. Kondisi ini menjadi satu Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pihaknya.

“Sebenarnya kalau saja dari dalam negara atau Indonesia membantu mengatasi persoalan sembako dan lain-lain, dalam jumlah cukup, tentu kan orang tidak punya pilihan. Tetapi apabila hal ini tidak bisa terpenuhi, tentu kan jalan keluarnya cari ke tempat lain. Ini kan teori mudah sebenarnya. Hukum ekonomi. Ya masyarakat tidak dapat kita salahkan karena memang butuh pada saat itu dan harus cepat. Yang namanya sembako kan tidak dapat ditunda-tunda,” ujar Hanafiah, ditemui terpisah.

Oleh karena itu, PR besarnya ialah mendorong agar bagaimana kebutuhan pokok dan sembako bisa terpenuhi dari dalam negeri sendiri. Dengan demikian, harapannya sembako bisa terjamin lebih murah dan terjangkau.

“Sehingga yang transaksi di dalam (daerah Pulau Sebatik) tidak mungkin transaksi ringgit, pasti rupiah,” pungkasnya.
(shc/das/detik)