“Di tahun 2019, kami mendapati aduan dari ayah terduga korban ND dengan isi aduan terkait asusila. Langkah kami adalah memberikan pendampingan dengan membuat laporan polisi dengan STBL/577/XII/2019/SPKT, atas Pasal 286 KUHP (bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya dalam keadaan pingsan/tidak berdaya) oleh terduga asusila berinisial WH, MF, NN dan ZP pada tanggal 20 Desember 2019,” ujar Sekretaris Kemenkop UKM Arif Rahman Hakim dalam keterangan tertulis, Senin (24/10/2022).
Arif juga mengatakan pada tanggal 13 Februari 2020 dilakukan penahanan terhadap 4 orang pelaku dugaan tindak asusila selama 21 hari oleh pihak Polres Kota Bogor.
“Perkembangannya, pihak keluarga bersepakat untuk dilakukan pernikahan antara Sdr ZP dan Sdri ND (korban) pada tanggal 13 Maret 2020 oleh KUA Cilandak, Jakarta Selatan. Setelah tercapai kesepakatan antara keluarga korban dan terduga pelaku, selanjutnya Pihak Kepolisian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan Nomor : S.PPP/813.b/III/RES.1.24/2020 tertanggal 18 Maret 2020,” kata Arif.
Selain itu, Arif menjelaskan pihaknya bergerak cepat dengan langsung memanggil terhadap 2 pelaku dugaan tindak asusila yang berstatus ASN dan dilakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Internal Nomor: 01/BAP/XII/2019_rhs dan nomor 02/BAP/XII/2019 rhs. Serta 2 pelaku yang berstatus honorer dilakukan wawancara secara lisan.
“Kami menjatuhkan sanksi berupa status non job (pemberhentian pekerjaan) pada 14 Februari 2020 untuk pelaku atas nama Sdr. MF dan 24 Februari 2020 untuk pelaku atas nama Sdr. NN atas pelanggaran dugaan tindak asusila, dan untuk oknum PNS dilakukan dijatuhi hukuman disiplin berat yaitu penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun, dari kelas jabatan 7 (analis) menjadi kelas jabatan 3 (pengemudi) bagi Sdr. WH dan ZP,” jelasnya.
Terkait permasalahan yang dihadapi oleh terduga korban asusila, Arif menambahkan pihaknya memastikan agar seluruh hak-hak korban diberikan.
“Hak gaji yang bersangkutan telah diselesaikan sampai dengan bulan Januari 2020. Selain itu kami juga memfasilitasi terduga korban untuk untuk bekerja sebagai tenaga outsourcing honorer di instansi lain dan masih bekerja sampai saat ini,” ungkapnya.
Ditegaskan Arif, Kementerian Koperasi dan UKM sejak awal berkomitmen melakukan pendampingan terhadap korban dan mendorong penyelesaian kasus ini seadil-adilnya.
Kesepakatan damai tersebut dibantah pihak korban. Koordinator TAKON Kemenkop, Kustiah Hasim, mengatakan kakak korban menyebut klaim fakta tersebut tak berdasar kebenaran alias bohong.
Kustiah menjelaskan terkait ide pernikahan pelaku dengan korban yang didorong oleh pihak kepolisian dan bukan oleh keluarga atau orang tua korban. Menurut Kustiah, pernikahan inilah yang akhirnya menjadi dasar penerbitan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan oleh Polresta Bogor. Pihak keluarga korban tidak pernah mengetahui perihal SP3 tersebut.
“Keluarga korban N mengaku ide pernikahan itu justru disampaikan pihak kepolisian, bukan oleh mereka. Keluarga korban dan korban bahkan tidak tahu pernikahan ini akhirnya menjadi alasan penghentian dan penerbitan SP3,” kata Kustiah.
Selanjutnya terkait pernyataan pengunduran diri korban. Dia menjelaskan kakak korban tidak pernah membuat surat tersebut. Kustiah malah menyampaikan kakak korban menanyakan alasan mengapa korban tidak diperpanjang masa kerjanya alias tidak dipekerjakan lagi di Kemenkop UKM.
“Korban tidak pernah membuat surat (pengunduran diri) tersebut. Perusahaan tempat korban bekerja sekarang bahkan diminta dibuatkan slip gaji palsu korban untuk memuluskan skenario jahat pengunduran diri,” sambung Kustiah.
Kemudian soal surat permintaan keringanan pengenaan sanksi bagi pelaku yang diklaim dibuat orang tua korban. Kustiah menegaskan orang tua korban mengaku tidak pernah membuat surat tersebut.
“Kakak korban menjelaskan ayah korban tidak membuat surat (permintaan keringanan pengenaan sanksi) ke Sesmen. Jadi sejumlah pernyataan ini membantah klaim yang disampaikan pihak Kemenkop UKM,” tegasnya.
Penjelasan Polisi
Wakapolresta Bogor Kota AKBP Ferdy Irawan menjelaskan soal kasus pelecehan seksual di Kemenkop UKM. Dia menjelaskan alasan penyelidikan kasus tersebut disetop.
Ferdy mengatakan kasus tersebut sempat diproses dan para pelaku sempat ditahan di Mapolresta Bogor Kota.
“Jadi persoalan itu ditangani tahun 2020, dulu sempat dilakukan penyidikan dan dilakukan penahanan terhadap tersangka. Periodenya itu mulai diproses itu bulan Januari,” kata Ferdy.
Namun kemudian, kata Ferdy, pihak korban dan keluarga datang ke Polresta Bogor Kota pada Maret 2020 untuk mencabut laporan. Dia mengatakan kedua pihak sudah berdamai dan pelaku akan menikahi korban sebagai bentuk pertanggungjawaban.
“Kemudian Maret 2020 itu datanglah korban dengan keluarganya membawa surat pencabutan laporan dan perdamaian yang sudah ditandatangani oleh para pihak, pelapor maupun terlapor, terus dengan juga menunjukkan ternyata mereka sudah sepakat akan melakukan pernikahan,” sebut Ferdy.
“Dan itu di kemudian hari dibuktikan dengan adanya bukti buku nikah atas nama korban dengan tersangka. Jadi dasar itulah dilakukan penghentian penyidikan, karena memang dulu itu permintaan korban sendiri yang mau seperti itu,” tambahnya.
Pernikahan itu, menurut Ferdy, dilakukan ketika pelaku masih berstatus sebagai tersangka atas kasus dugaan tindakan asusila yang dilaporkan korban.
“Iya, kalau dari keterangannya seperti itu. Jadi kalau menurut saya sih itu mungkin salah satu kesepakatan perdamaian antara mereka itu ya dinikahi, sebagai bentuk pertanggungjawaban setelah adanya pernikahan tersebut kemudian korban mengajukan pencabutan laporan,” terangnya.
“Saya tidak tahu persis bagaimana terjadinya proses pernikahan, karena kasus itu kan sudah lama juga, tetapi yang jelas ketika mereka datang itu sudah membawa kesepakatan (damai) itu, kemudian ada surat pencabutan laporan, dan didukung dengan bukti pernikahan dan dikuatkan dengan adanya buku nikah,” kata Ferdy.
“Jadi kalau itu prosesnya ada yang mendorong dari pihak kepolisian, saya nggak bisa menjawab karena itu juga sudah lama kasusnya dan kedua juga susah ya kalau kita bilang ini diarahkan ya, karena korban juga memang faktanya mau dan mengiyakan dan melaksanakan, dan sudah berlangsung rumah tangga itu sampai dengan sekarang,” tambahnya.
Ferdy mengatakan kasus yang dilaporkan korban dihentikan kasusnya setelah terjadi kesepakatan damai dan pencabutan laporan oleh korban. Penghentian penyidikan kasus itu juga dikuatkan dengan dokumen-dokumen yang diajukan korban dan pelaku.
“Justru karena ada kesepakatan dan adanya pencabutan laporan dan didukung dengan bukti sudah menikah itukan jadi alasan penyidik untuk, ya kalau orang sudah mau berdamai kenapa kita persulit, kan begitu. Kita nggak tahu kalau dalam perjalanan rumah tangga ada persoalan rumah tangga, itu kan sudah persoalan lain ya,” kata Ferdy.
“Karena kami hanya membaca sesuai dokumen saja ya, kami tidak bisa membaca situasi yang sebenarnya dulu bagaimana, tetapi berdasarkan dokumen yang ada menurut reskrim seperti itu, ada surat pencabutan ada permohonan untuk tidak diteruskan pidananya, ada surat kesepakatan para pihak, ada buku nikah, kayak gitu,” tambahnya.
Namun Polresta Bogor Kota siap membuka kembali kasus tersebut jika di kemudian hari muncul putusan pengadilan melalui proses praperadilan.
“Karena SP3 itu sudah produk hukum ya, SP3 itu bisa dibatalkan dengan adanya putusan praperadilan. Kalau memang nantinya pengadilan memutuskan bahwa SP3 itu dinyatakan batal atau tidak berlaku dan memerintahkan penyidik untuk memproses kembali, ya kita akan mempelajari kembali dan memprosesnya. Karena SP3 itu sudah produk hukum juga ya,” terang Ferdy.
Pertemuan Menkop dengan Pihak Korban
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki serta pihak korban pemerkosaan hari ini mengadakan pertemuan tertutup dengan beberapa aktivis dan lembaga hukum. Hasil dari pertemuan tersebut, Menkop dan pihak korban sepakat membentuk tim independen.
“Akan dibentuk tim independen yang terdiri dari internal Kementerian, kemudian dari pendamping hukum dan tim aktivis. Jadi ada 5 orang yang akan bekerja dalam tim ini. Tim akan bekerja di poin utama, yaitu mencari fakta dan memberi rekomendasi penyelesaian kasus ini maksimal 1 bulan,” ungkap Woman Activities Ririn Sefsani.
Korban Ajukan Praperadilan SP3
Korban pelecehan akan mengajukan praperadilan atas SP3 atau surat pemberhentian pengusutan kasus dari pihak kepolisian. Tim pendamping hukum korban mengatakan SP3 yang dikeluarkan tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Untuk proses hukum selanjutnya, dari korban memutuskan untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3 karena SP3 yang ditetapkan oleh polresta Bogor itu adalah dengan alasan keadilan restorative. Menurut kita jika dikaitkan dengan UU TPKS yang sekarang itu kan tidak diperkenankan untuk melakukan upaya penyelesaian di luar persidangan,” ungkap Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jawa Barat Asnifrianti Damanik kepada wartawan, Selasa (25/10/2022).
Asni mengatakan pihaknya saat ini tengah berdiskusi dengan tim ahli dan Kemenkop untuk mempersiapkan praperadilan tersebut. Sementara itu, Kemenkop juga berjanji pihaknya akan mengakomodir dan memenuhi semua tuntutan keluarga korban.
“Kami sudah berdiskusi juga dengan ahli untuk mempersiapkan permohonan praperadilan ini. Kementerian Koperasi dan UKM berjanji untuk memfasilitasi, kemudahan dalam proses praperadilan nanti dan mendukung apa yang dilakukan korban,” tuturnya.
(isa/eva/detik)