Dilansir Reuters, Senin (12/12/2022), Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud menyatakan negara-negara Teluk Arab akan mengambil tindakan untuk menjamin keamanan jika Iran berhasil mendapatkan senjata nuklir. Pangeran Faisal mengakui situasi akan tidak menentu jika Teheran memiliki senjata nuklir.
Pembicaraan tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat (AS) untuk menyelamatkan pakta nuklir tahun 2015 antara negara-negara kekuatan global dan Teheran, diketahui terhenti sejak September lalu.
AS diketahui keluar dari pakta nuklir itu tahun 2018 lalu. Sementara itu, Kepala nuklir Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga telah menyuarakan kekhawatiran atas pengumuman terbaru Iran soal meningkatkan kapasitas pengayaan uranium.
“Jika Iran mendapatkan senjata nuklir operasional, semua pertaruhan dibatalkan,” ucap Pangeran Faisal saat ditanya soal skenario tersebut ketika menghadiri Konferensi Kebijakan Dunia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Dia menggunakan idiom yang berarti ‘situasinya tidak menentu dan tidak bisa diprediksi’ jika Iran benar-benar memiliki senjata nuklir.
“Kita berada dalam situasi sangat berbahaya di kawasan ini. Anda bisa memperkirakan bahwa negara-negara kawasan tentu akan melihat ke arah bagaimana mereka bisa menjamin keamanan mereka sendiri,” ucap Pangeran Faisal.
Pembicaraan nuklir itu terhenti dan negara-negara Barat menuduh Iran mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal. Beberapa waktu terakhir, fokus juga teralihkan kepada perang Rusia-Ukraina dan kerusuhan domestik di Iran yang dipicu kematian seorang wanita muda bernama Mahsa Amini.
Meskipun Riyadh tetap ‘skeptis’ soal kesepakatan nuklir Iran, Pangeran Faisal menyatakan negaranya mendukung upaya-upaya menghidupkan kembali pakta itu ‘dengan syarat bahwa itu menjadi titik awal, bukan titik akhir’ untuk kesepakatan yang lebih kuat dengan Teheran.
Negara-negara Teluk Arab yang didominasi Sunni telah mendesak agar ada perjanjian yang lebih kuat untuk mengatasi kekhawatiran soal program rudal dan drone Iran. Mereka juga mendesak perjanjian lebih kuat terkait jaringan proxy global Iran yang didominasi Syiah.
“Sayangnya, tanda-tandanya sekarang tidak terlalu positif,” sebut Pangeran Faisal.
“Kami mendengar dari warga Iran bahwa mereka tidak tertarik pada program senjata nuklir, akan sangat menenangkan untuk mempercayai itu. Kami memerlukan lebih banyak jaminan pada level tersebut,” ucap Pangeran Faisal.
Sementara itu, Iran menegaskan teknologi nuklirnya semata-mata untuk tujuan sipil.
Seorang pejabat senior Emirat, yang enggan disebut namanya, menyatakan ada peluang untuk meninjau kembali ‘keseluruhan konsep’ pakta nuklir mengingat sorotan terkini pada senjata Teheran di mana negara-negara Barat menuduh Rusia menggunakan drone Iran untuk menyerang target di Ukraina. Iran dan Rusia telah membantah tuduhan tersebut.
Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya hingga 60 persen di fasilitas nuklir bawah tanah di Fordo. Fasilitas tersebut telah dibuka kembali pada 2019 di tengah gagalnya perjanjian nuklir Iran dengan negara-negara besar.
“Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya hingga 60 persen di pembangkit Fordo untuk pertama kalinya,” demikian laporan kantor berita Iran, ISNA, seperti dilansir AFP, Selasa (22/11).
Sebagai informasi, bom atom membutuhkan pengayaan uranium hingga 90 persen. Jadi, 60 persen merupakan langkah signifikan menuju pengayaan tingkat senjata.
Selama ini otoritas Iran selalu membantah berambisi untuk mengembangkan bom atom dan bersikeras kegiatan nuklirnya hanya untuk tujuan sipil.
Di bawah kesepakatan penting yang dicapai pada tahun 2015, Iran setuju untuk menghentikan pabrik Fordo dan membatasi pengayaan uraniumnya menjadi 3,67 persen atau cukup untuk sebagian besar penggunaan sipil. Itu merupakan bagian dari paket pembatasan kegiatan nuklir Iran yang bertujuan mencegahnya mengembangkan senjata nuklir secara diam-diam.
Sebagai imbalannya, negara-negara besar setuju untuk melonggarkan sanksi-sanksi yang telah mereka jatuhkan atas program nuklir Iran. Namun, kesepakatan itu mulai berantakan pada 2018 ketika Presiden AS saat itu, Donald Trump, menarik Washington keluar dari kesepakatan dan menerapkan kembali sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran.
Tahun berikutnya, Iran mulai menjauh dari komitmennya berdasarkan kesepakatan tersebut. Iran pun membuka kembali Fordo dan mulai memperkaya uranium ke tingkat yang lebih tinggi.
Pada Januari 2021, Iran mengatakan sedang bekerja untuk memperkaya uranium hingga 20 persen di Fordo. Beberapa bulan kemudian pabrik pengayaan Iran lainnya mencapai pengayaan 60 persen.
Presiden AS Joe Biden telah menyatakan keinginan Washington untuk kembali ke kesepakatan nuklir dan pembicaraan terus-menerus telah berlangsung sejak April tahun lalu.
Fasilitas Fordo yang berada sekitar 180 kilometer (110 mil) selatan ibu kota Teheran, dibangun jauh di bawah tanah untuk melindunginya dari serangan udara atau rudal musuh-musuh Iran.
Musuh bebuyutan Iran, Israel juga tidak pernah mengesampingkan tindakan militer jika dianggap perlu untuk mencegah Iran mengembangkan kemampuan senjata nuklir.
(haf/detik)