Badan migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), seperti dilansir AFP, Selasa (26/11/2024), menggambarkan gelombang pengungsian ini sebagai gelombang pengungsian terburuk dalam dua tahun terakhir di negara tersebut.
Disebutkan IOM bahwa total 40.965 orang di Port-au-Prince telah mengungsi dalam periode 10 hari, yakni antara 11 November hingga 20 November. Beberapa orang di antaranya disebut telah melakukan pengungsian kedua atau ketiga kalinya.
“Skala pengungsian ini belum pernah terjadi sebelumnya, sejak kami mulai merespons krisis kemanusiaan pada tahun 2022,” sebut Kepala IOM di Haiti, Gregoire Goodstein, dalam pernyataan terbarunya.
Selama dua pekan terakhir, beberapa area di wilayah Port-au-Prince dan sekitarnya telah menjadi lokasi bentrokan saat kekerasan yang melibatkan kelompok bernama “Viv Ansanm”, aliansi geng yang dibentuk pada Februari lalu untuk menggulingkan Perdana Menteri (PM) Ariel Henry yang saat itu menjabat.
Henry telah mengundurkan diri dari jabatannya pada April lalu.
“Krisis ini bukan hanya tantangan kemanusiaan. Ini menjadi ujian atas tanggung jawab kita bersama,” ucap Goodstein dalam pernyataannya.
Rentetan tindak kekerasan meningkat secara dramatis di Port-au-Prince sejak 11 November lalu, ketika koalisi geng-geng kriminal bersenjata itu berupaya menguasai ibu kota Haiti sepenuhnya.
Dilaporkan bahwa geng-geng kriminal bersenjata kini menguasai sekitar 80 persen kota Port-au-Prince, dan secara rutin menargetkan warga sipil meskipun ada pengerahan pasukan internasional yang dipimpin Kenya untuk membantu polisi Haiti yang kewalahan dalam memulihkan ketertiban.
(nvc/ita/detik)