Harga-harga naik hingga lebih dari 36% pada bulan Desember seiring biaya transportasi, makanan, dan bahan pokok lainnya menghabiskan sebagian besar anggaran rumah tangga.
Kebanyakan bank sentral di dunia akan menaikkan suku bunga untuk membantu mengerem inflasi namun Turki tidak melakukannya.
Berdasarkan syariat Islam, Muslim dilarang menerima atau memetik bunga pinjaman.
Nilai tukar lira terhadap dolar turun 44% dari tahun lalu, dan turun 5% lagi pada hari Senin sebelum kembali ke nilai semula.
Penurunan lira membuat harga impor – yang memicu inflasi – lebih mahal, mulai dari energi hingga banyak bahan baku yang diubah para produsen di Turki menjadi barang ekspor.
Dalam sebuah pidato pada hari Senin (03/01) dia mengatakan Turki “akan melalui transformasi ekonomi dan bangkit ke liga berikutnya”.
Dia mengatakan negara itu “menuai buah terutama dalam ekspor hasil usaha dan kerja keras negara kita dalam 20 tahun terakhir untuk meningkatkan perdagangan luar negeri kita”.
“Suku bunga harus segera dan secara agresif dinaikkan karena ini mendesak,” kata Ozlem Derici Sengul, mitra pendiri di Spinn Consulting, Istanbul. Tapi dia paham bahwa bank sentral mungkin tidak akan bertindak.
Erdogan merombak kepemimpinan bank sentral pada tahun lalu. Bank telah memangkas suku bunga menjadi 14% dari 19% sejak September.
Langkah itu diikuti lonjakan harga dan penurunan nilai tukar lira, yang telah mengubah anggaran rumah tangga dan perusahaan.
Bulan lalu, muncul gambar orang-orang yang mengantre untuk roti bersubsidi di Istanbul, di mana biaya hidup naik 50% dalam setahun, menurut pejabat setempat.
Biaya hidup diperkirakan akan meningkat lebih lanjut, terutama setelah kenaikan harga listrik dan gas baru-baru ini masing-masing sekitar 50% dan 25%.
Bank sentral berargumen bahwa faktor sementara telah mendorong kenaikan harga, dan memperkirakan pada bulan Oktober bahwa Turki akan menutup 2021 di 18,4%. Target inflasi resmi bank sentral adalah 5%, tetapi angka sebenarnya selalu dua digit selama dua tahun terakhir.
Untuk mengerem jatuhnya lira, Erdogan meluncurkan skema tiga minggu lalu di mana negara melindungi deposito lokal yang dikonversi dari kerugian versus mata uang keras. Itu memicu kenaikan tajam nilai tukar lira hingga 50% dengan dukungan bank sentral.
Tetapi lira kemudian tenggelam lagi pekan lalu, mendorong Presiden Erdogan menyampaikan seruan pada hari Jumat agar masyarakat menyimpan semua tabungan mereka dalam lira dan memindahkan emas ke bank.
Gejolak ekonomi telah mencederai nilai Presiden Erdogan dalam berbagai jajak pendapat menjelang pemilihan yang dijadwalkan paling lambat pada pertengahan 2023.
Alasan sederhana keterpurukan lira adalah kebijakan ekonomi tak lazim yang ditempuh Erdogan, yakni mempertahankan suku bunga rendah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Turki dan potensi ekspor dengan nilai tukar yang kompetitif.
Bagi banyak ekonom, jika inflasi naik yang dilakukan untuk mengendalikannya adalah menaikkan bunga. Tapi Presiden Erdogan Erdogan memandang suku bunga sebagai “keburukan yang membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.”
“Semua serba mahal,” kata Sevim Yildirim kepada BBC di sebuah pasar buah. “Dengan harga seperti ini, tak mungkin bisa menyediakan makanan utama untuk keluarga.”
Inflasi tahunan meningkat di atas 21% di Turki, tetap Bank Sentral Republik Turki, dikendalikan oleh Erdogan, hanya menurunkan suku bunga dari 16% ke 15%, pemotongan ketiga tahun ini.
Inflasi meningkat di seluruh dunia, dan bank sentral di masing-masing negara membicarakan kenaikan suku bunga. Tidak demikian di Turki, karena Presiden Erdogan yakin inflasi pada akhirnya akan turun.
Dalam tempo dua tahun ia telah memecat tiga presiden bank sentral dan baru pekan ini ia mengganti menteri keuangan. Jadi nilai tukar lira terus merosot.
Harga meroket
Perekonomian Turki tergantung pada impor untuk memproduksi barang-barang mulai dari makanan hingga tekstil sehingga kenaikan nilai dolar berdampak langsung pada harga barang-barang keperluan.
Sebagai contoh tomat, bahan penting dalam masakan Turki. Untuk menanam tomat, petani memerlukan gas dan pupuk yang harus diimpor.
Harga tomat naik sampai 75% pada Agustus dibanding harga satu tahun sebelumnya, menurut Kamar Dagang di Antalya, sentra pertanian di kawasan pesisir selatan.
“Bagaimana kami bisa untung dalam kondisi ini?” tanya Sadiye Kaleci, yang menanam anggur Pamukova, kota kecil sekitar tiga jam perjalanan dari Istanbul.
“Kami menjual dengan harga rendah, harga belinya mahal,” keluh perempuan itu. Untuk tanaman anggurnya, ia perlu membeli diesel, pupuk dan sulfur.
Mata uang lira begitu bergejolak sehingga harga-harga berubah setiap hari.
“Saya sudah mengurangi semua pengeluaran,” ungkap Hakan Ayran ketika sedang berbelanja di pasar. “Untuk menutupi kebutuhan semua orang mengurangi makan dan tak seorang pun berbelanja.”
Karyawan supermarket mengunggah kenaikan harga di media sosial, menunjukkan harga sebelumnya dan harga sekarang.
Sebuah toko roti di kota terbesar ketiga Turki, Izmir, memasang pengumuman untuk menjelaskan kenaikan harga dengan mencantumkan kenaikan harga bahan-bahan yang diperlukan seperti tepung, minyak dan wijen. Pengumuman itu ditutup dengan kata-kata: “Semoga Tuhan menyertai kita.”
Semua ini menambah angka kemiskinan dan melebarkan jurang pendapatan serta jurang kekayaan.
Anak-anak muda marah
Antrean terjadi di stasiun pengisian bahan bakar umum dan kantor pemerintah yang menawarkan roti dengan harga miring.
Pada waktu yang sama, partai-partai oposisi mendesak pemilihan umum yang dipercepat. Ketika lira merosot 18% dalam tempo sehari pada tanggal 23 November, terjadi unjuk rasa dan puluhan warga ditangkap.
Namun ungkapan kemarahan yang paling bisa diamati dari kalangan generasi muda Turki disampaikan lewat Twitter, streaming langsung di Twitch, video TikTok dan YouTube.
“Saya tidak senang dengan pemerintah sama sekali. Saya tidak bisa membayangkan masa depan bagi saya sendiri di negara ini,” kata seorang pemuda kepada wartawan di salah satu saluran YouTube.
Satu dari lima warga muda di Turki menganggur; bahkan jumlah perempuan yang menganggur lebih besar lagi.
Turki tercatat sebagai negara tertinggi keempat di dunia dari segi jumlah penduduk muda yang tidak bekerja, tidak bersekolah atau mendapat pelatihan, menurut OECD.
Kelompok penduduk muda ini membandingkan taraf hidup mereka dengan taraf hidup di negara-negara lain.
“Bagi warga muda di Amerika Serikat atau Eropa, mereka bisa dengan mudah membeli ponsel iPhone dengan gaji mereka, kata seorang pemuda berusia 18 tahun. “Kalau pun saya bekerja sampai berbulan-bulan, saya tak mampu membelinya. Itu tak pantas terjadi pada saya.”
Generasi muda siap memainkan peran penting di dunia politik Turki yang telah diperintah oleh partai pimpinan Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sejak 2002.
Hampir sembilan juta warga Turki yang dilahirkan sesudah akhir 1990-an akan mempunyai hak memilih dalam pemilu tahun 2023 dan fakta itu bisa menimbulkan masalah bagi AKP.
‘Tak mungkin menerka-nerka’
Keberhasilan partai berkuasa antara lain ditopang adanya dana asing setelah krisis keuangan tahun 2008.
Akan tetapi sebagian besar pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh belanja pemerintah dan pinjaman yang lebih diarahkan ke industri konstruksi.
Akibatnya, produksi tetap tetap tergantung pada impor dan ekonomi diombang-ambingkan oleh fluktuasi mata uang.
Tak banyak orang yang percaya model ekonomi Erdogan bakal menolong lira Turki.
Di tengah ketidakpastian itu, ekonom Arda Tunca mengatakan tak dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
“Inilah pertama kalinya kami menerapkan model yang benar-benar di luar teori ekonomi. Ketika terjadi krisis sebelumnya kami dapat menerka-nerka apa yang akan terjadi. Sekarang tidak mungkin,” katanya.