Undang-undang itu mendapat persetujuan 275 dari total 329 anggota parlemen. Sebuah pernyataan dari parlemen mengatakan undang-undang itu adalah “cerminan sejati dari kehendak rakyat.”
Tidak jelas bagaimana undang-undang itu akan diterapkan, lantaran Irak tidak pernah mengakui negara Israel sejak berdiri pada tahun 1948. Warga dan perusahaan Irak juga tidak dapat mengunjungi Israel, serta menjalin bisnis bersama. Namun, undang-undang baru menindaklanjuti lebih jauh, dengan mengkriminalisasi setiap upaya untuk menormalkan hubungan dengan Israel.
“Menyetujui undang-undang itu bukan hanya kemenangan bagi rakyat Irak, tetapi juga bagi para pahlawan di Palestina dan Hizbullah di Lebanon,” kata anggota parlemen Syiah Irak Hassan Salim.
Anggota parlemen dari partai Sadr mengatakan mereka mengusulkan undang-undang untuk mengekang klaim partai-partai oposisi yang didukung Iran bahwa Sadr membuat koalisi dengan Sunni dan Kurdi yang mungkin memiliki hubungan rahasia dengan Israel.
Tanggapan AS atas undang-undang baru Irak
Amerika Serikat mengatakan sangat terganggu oleh undang-undang Irak. “Selain membahayakan kebebasan berekspresi dan mempromosikan lingkungan antisemitisme, undang-undang ini sangat kontras dengan kemajuan yang telah dibuat tetangga Irak dengan membangun jembatan dan menormalkan hubungan dengan Israel, menciptakan peluang baru bagi orang-orang di seluruh kawasan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan.
Beberapa negara Teluk, termasuk Uni Emirat Arab dan Bahrain, menjalin hubungan dengan Israel berlatar belakang keprihatinan bersama tentang ancaman yang mungkin ditimbulkan Iran terhadap wilayah tersebut.
Arab Saudi, sekutu dekat AS, telah menjadikan kondisi normalisasi apa pun dengan Israel, dan pencarian warga Palestina untuk menjadi negara bagian di wilayah yang direbut oleh Israel dalam perang Timur Tengah 1967 harus ditangani.
yas/ha (Reuters, AP)
(ita/ita/detik)