Israel Gencarkan Pengeboman di Gaza, Perluas Operasi Darat

0
Anak-anak masuk ke dalam ambulans setelah serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Al-Ahli, menurut Kementerian Kesehatan Gaza di Kota Gaza, Jalur Gaza, 17 Oktober 2023 (Reuters)
Gaza City – Militer Israel menggencarkan pengeboman di Kota Gaza selama berjam-jam pada Jumat (27/10/2023).

BBC News bertanya kepada juru bicara pemerintah Israel, apakah gempuran ini merupakan awal operasi darat Israel ke Jalur Gaza yang digaungkan selama beberapa hari terakhir oleh para pejabat Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Eylon Levy menjawab: “Israel telah memperluas operasi darat di Jalur Gaza, tapi lain dari itu saya tidak akan berkomentar mengenai urusan operasional.”

Sementara itu, sayap militer Hamas, Brigade Al Qassam, mengatakan pihaknya menghadapi serangan darat militer Israel di bagian utara Jalur Gaza.

Hamas mengatakan “pertempuran dengan kekerasan” terjadi di dekat Beit Hanoun, Gaza utara, dan Bureij. Namun mereka tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai bentuk bentrokan yang terjadi.

BBC tidak dapat memverifikasi klaim Hamas ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut tak ada tempat yang aman bagi warga Palestina di Gaza saat ini, seiring pertikaian antara Israel dan Hamas yang kian memanas.

Pasukan pertahanan Israel (IDF) mengklaim telah melakukan “serangan yang ditargetkan” di sejumlah infrastruktur dan pos peluncuran rudal anti-tank di Gaza utara.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kembali menegaskan Israel sedang mempersiapkan invasi darat ke Gaza, namun tidak memberikan rincian kapan serangan darat itu akan dilakukan.

Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Palestina, Lynn Hastings, peringatan dini Israel agar warga di Gaza utara mengevakuasi diri tak ada bedanya bagi orang-orang yang tak bisa mengungsi lantaran tidak memiliki tujuan atau tidak bisa bergerak.

“Ketika jalur evakuasi dibom, ketika orang-orang di utara dan selatan terjebak dalam pertikaian, ketika kebutuhan pokok untuk bertahan hidup tidak ada lagi, dan ketika tidak ada jaminan untuk kembali, orang-orang tak punya pilihan,” katanya kepada BBC.

“Tidak ada tempat yang aman di Gaza.”

Awal bulan ini, militer Israel memperingatkan masyarakat di utara Jalur Gaza untuk menuju ke selatan.

Seorang warga Palestina di Khan Younis, di Gaza bagian selatan, mengatakan kepada kantor berita Reuters: “Wilayah selatan, di selatan lembah, tidak aman.

“Terjadi pembantaian siang dan malam, banyak pembantaian, anak-anak, remaja, bayi – semuanya dibunuh.”

“Bangunan-bangunan mati, pohon-pohon mati tidak ada tempat yang aman di seluruh Jalur Gaza. Bagian selatan hancur, semua pembunuhan dan pengungsian terjadi di bagian selatan.”

“Kita milik Tuhan dan kepada-Nya kita akan kembali.”

Hampir 6.500 warga Palestina kehilangan nyawa sejak 7 Oktober, imbas dari serangan balasan Israel atas serangan Hamas.

Sementara,1.400 warga Israel meninggal dalam serangan Hamas terhadap Hamas pada 7 Oktober, yang memicu pertikaian terbaru antara Palestina dan Israel. Lebih dari 200 warga Israel masih disandera di Gaza.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendesak Hamas untuk membebaskan semua sandera dengan alasan medis.

Sebelumnya, PBB memperingatkan pasokan bahan bakar di Gaza akan segera habis, mengakibatkan rumah sakit menutup hampir seluruh layanannya, kecuali Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Seiring beberapa negara di seluruh dunia menyerukan “jeda kemanusiaan” dalam upaya menyalurkan bantuan yang sangat dibutuhkan ke Gaza, PBB telah memperingatkan Gaza akan kehabisan bahan bakar pada Rabu (25/10) malam.

Jika bahan bakar habis, itu akan berdampak sangat besar pada upaya bantuan kemanusiaan yang mereka lakukan di wilayah yang tengah dilanda prahara tersebut.

PBB menekankan pentingnya pengiriman pasokan bahan bakar ke wilayah itu demi memastikan warga mendapatkan air minum yang bersih, layanan rumah sakit tetap buka dan operasi bantuan dapat terus berlanjut.

Menipisnya pasokan bahan bakar di Gaza, memicu kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap layanan kesehatan. Badan-badan PBB lainnya memperkirakan bahwa sepertiga rumah sakit di Gaza dan hampir dua per tiga klinik layanan kesehatan utama ditutup karena kerusakan atau kekurangan bahan bakar.

Wartawan BBC di Gaza, Rushdi Abualouf, mengatakan rumah sakit kini telah menutup hampir semua layanannya kecuali instalasi gawat darurat.

“Sebagian besar departemen di rumah sakit ditutup karena mereka ingin meminimalkan jumlah bahan bakar yang mereka gunakan,” ujarnya kepada program Today di BBC Radio 4.

Akan tetapi, fasilitas penting seperti unit dialisis masih beroperasi, kendati dengan perawatan yang sangat minim.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan 436 orang tewas dalam 24 jam terakhir, imbas dari serangan udara Israel yang terus berlanjut.

Israel mengatakan pihaknya menargetkan infrastruktur Hamas dalam serangannya, termasuk terowongan. Israel mengklaim berhasil menggempur 320 sasaran dalam sehari.

Israel juga melancarkan serangan darat terbatas ke Gaza untuk mencari informasi tentang warga Israel yang disandera milisi Hamas.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina mengatakan situasi di Gaza selatan sangat buruk sehingga beberapa warga sipil memutuskan kembali ke tempat tinggal mereka di Gaza utara, setelah diperintahkan untuk mengungsi ke selatan oleh Israel.

Lebih dari 1.400 warga Israel terbunuh ketika Hamas menyerang komunitas warga Israel di dekat Gaza.

Sementara Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mengatakan lebih dari 5.000 orang telah tewas sejak Israel mulai membom wilayah tersebut sebagai balasan atas serangan Hamas.

Jumlah korban jiwa di atas 5.000 itu termasuk 2.055 anak, 1.119 perempuan, dan 217 lansia, menurut Kementerian Kesehatan Palestina. Sebanyak 15.273 lainnya dalam kondisi luka.

Kementerian kesehatan, seperti lembaga pemerintahan lainnya di Jalur Gaza, dikontrol oleh Hamas.

Warga Palestina berduka atas kematian kerabat mereka dekat Nablus, Tepi Barat.

Warga Palestina berduka atas kematian kerabat mereka dekat Nablus, Tepi Barat (EPA)

Sebelumnya, sejumlah rudal Israel menghantam sebuah masjid di Kota Jenin, Tepi Barat.

Militer Israel (IDF) mengatakan intelijen mereka “mengungkap bahwa masjid itu digunakan sebagai pusat komando untuk merencanakan dan melaksanakan serangan teroris terhadap warga sipil”.

Seorang petugas medis setempat mengatakan bahwa dua orang tewas dalam insiden tersebut, menurut kantor berita Reuters. BBC belum memverifikasi informasi ini.

Militer Israel, melalui akun X berbahasa Inggris, membenarkan bahwa serangan di Jenin menargetkan sebuah masjid.

“Intelijen IDF baru-baru ini mengungkapkan bahwa masjid tersebut digunakan sebagai pusat komando untuk merencanakan dan melaksanakan serangan teroris terhadap warga sipil,” tulis unggahan tersebut.

Selain menyerang masjid, militer Israel juga menyerang kamp pengungsi Nur Shams, menurut lembaga bantuan PBB yang berfokus pada pengungsi Palestina (UNRWA). Sebanyak 13 orang, termasuk lima anak, tewas dalam serangan itu.

UNRWA menyebut seorang serdadu Israel juga tewas dan “sejumlah lainnya luka-luka”.

Lembaga PBB tersebut mengaku terpaksa menangguhkan berbagai pelayanan, termasuk sekolah, fasilitas kesehatan, dan pengumpulan sampah.

Tepi Barat yang diduduki Israel adalah wilayah terpisah dari Jalur Gaza.

Sebelumnya, militer Israel memperingatkan penduduk Kota Gaza untuk pindah ke selatan demi keselamatan mereka sendiri.

Juru bicara IDF, Daniel Hagari, mengatakan dalam konferensi pers bahwa militer Israel akan “memperdalam” dan “meningkatkan” serangan ke Gaza.

Krisis kemanusiaan terus terjadi di Palestina.

Ratusan orang dilaporkan tewas setelah ledakan besar di sebuah rumah sakit di Kota Gaza, pada Selasa (17/10). Situasi di rumah sakit tersebut digambarkan sebagai “tak tertandingi dan tak terlukiskan”, oleh Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza.

Kelompok Hamas – pihak berwenang di Gaza – mengatakan 500 orang tewas dalam ledakan di rumah sakit Al Ahli. Hamas menyalahkan Israel, yang pada gilirannya menyalahkan kelompok milisi Jihad Islam Palestina.

BBC berbicara dengan seorang dokter di rumah sakit yang didanai oleh Gereja Anglikan tersebut yang mengatakan bahwa terjadi kehancuran total dan ratusan orang tewas atau terluka akibat ledakan tersebut.

Kementerian Kesehatan Palestina menggambarkan situasi di rumah sakit Al Ahli sebagai “tak tertandingi dan tak terlukiskan”.

“Dokter melakukan operasi di lapangan dan di koridor, dan beberapa di antaranya tanpa anestesi,” kata juru bicara kementerian Dr Ashraf Al-Qudra, dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Facebook pada Rabu (18/10) pagi.

“Banyak orang masih menunggu untuk dioperasi, dan tim medis berusaha menyelamatkan nyawa mereka dalam perawatan intensif.”

Dia menambahkan bahwa banyak dari korban adalah anak-anak dan perempuan, serta menambahkan bahwa banyak dari cedera yang diderita para korban “di luar kemampuan tim medis kami”.

Indonesia mengutuk keras serangan yang disebut melanggar hukum humaniter internasional tersebut. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mendesak dibukanya akses kemanusiaan bagi warga Palestina.

“Indonesia juga mendesak komunitas internasional, terutama Dewan Keamanan PBB, untuk segera mengambil langkah nyata menghentikan serangan dan tindakan kekerasan di Gaza, yang telah memakan korban sipil sangat banyak,” tulis Kementerian Luar Negeri dalam pernyataan tertulis.

Hamas menyalahkan serangan udara Israel dan menggambarkannya sebagai “kejahatan perang”, sementara Israel membantah militernya terlibat dan mengatakan ledakan itu disebabkan oleh roket yang ditembakkan oleh Jihad Islam Palestina.

Jihad Islam, kelompok milisi terbesar kedua di Jalur Gaza, membantah bertanggung jawab.

Insiden itu terjadi tidak lama setelah PBB mengatakan sebuah sekolah yang menampung ribuan orang di Gaza tengah juga terkena serangan, menewaskan sedikitnya enam orang.

Ada juga protes di kota Ramallah, Tepi Barat pada Selasa (17/10) malam. Para demonstran yang menentang Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bentrok dengan pasukan keamanan yang merespons dengan menembakkan gas air mata.

Perkembangan dramatis ini terjadi menjelang kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Timur Tengah pada hari Rabu (18/10), yang akan mencakup kunjungan ke Israel.

Sebelumnya, Amerika Serikat, Israel dan Mesir disebut telah menyetujui gencatan senjata di Gaza selatan bertepatan dengan pembukaan kembali perbatasan Rafah, namun hal ini kemudian dibantah Israel.

Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Kolonel Richard Hecht mengatakan kepada BBC bahwa, “tidak ada gencatan senjata yang disepakati”.

Israel menyangkal laporan gencatan senjata yang mengizinkan “orang asing keluar” dari Gaza selatan dan “bantuan kemanusiaan masuk”, setengah jam setelah sumber keamanan di Mesir mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa gencatan senjata telah disepakati.

Kerumunan orang yang ingin meninggalkan Gaza sudah berkumpul di perbatasan Rafah, setelah laporan sebelumnya menyatakan bahwa perbatasan tersebut dapat dibuka kembali untuk sementara.

Pembukaan kembali jalur penyeberangan Gaza-Mesir akan memungkinkan bantuan yang sangat dibutuhkan masuk ke wilayah tersebut, dan beberapa orang asing dapat meninggalkan wilayah tersebut.

Namun hingga saat ini perbatasan masih ditutup.

Rafah, yang berada di perbatasan antara Semenanjung Sinai Mesir dan Gaza yang dikuasai Hamas, adalah satu-satunya penyeberangan ke wilayah yang tidak dikuasai Israel.

Ribuan orang berkumpul di perbatasan Rafah dengan harapan dapat meninggalkan Gaza menjelang serangan darat Israel yang diperkirakan akan terjadi.

Sebelumnya, laporan-laporan media AS mengatakan Mesir akan segera membuka perbatasannya ke Gaza.

Jika perbatasan itu dibuka akan memungkinkan warga Palestina dengan kewarganegaraan ganda akan dapat meninggalkan Gaza.

Pembukaan ini akan memudahkan masuknya bantuan yang sangat dibutuhkan masyarakat di Gaza.

Para pejabat terkait belum mengkonfirmasi tentang hal ini, namun warga AS di Gaza telah diberitahu supaya mendekati penyeberangan Rafah

Menurut laporan, penyeberangan hanya akan dibuka selama beberapa jam mulai pukul 09:00 (06:00 GMT).

Dalam hari-hari terakhir, orang-orang secara bergelombang mendekati lokasi perbatasan ketika kondisi di Gaza terus memburuk.

Presiden AS Joe Biden telah meminta Israel agar bersikap hati-hati, ketika militernya bersiap untuk melakukan serangan darat di sana.

Lebih dari 1.400 orang tewas di Israel ketika kelompok milisi Hamas menyerang warga sipil dan tentara lebih dari sepekan lalu

Hampir 2.700 orang telah tewas akibat pemboman Israel di Gaza sejak serangan tersebut, dan diperkirakan 1.000 orang belum ditemukan di bawah reruntuhan.

Israel berencana melakukan serangan darat

Militer Israel merencanakan serangan melalui darat, udara dan laut ke Gaza. Kendati militer Israel belum memerinci kapan serangan akan dilakukan, serangan darat Israel ke Gaza diperkirakan akan terjadi. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kepada tentara garis depan: “Tahap selanjutnya akan segera tiba.”

Sebelumnya, militer Israel mengatakan secara langsung kepada penduduk Kota Gaza untuk meninggalkan wilayah bagian utara demi “keamanan dan perlindungan” mereka, saat pasukan Tel Aviv berkumpul menjelang serangan darat.

Sementara itu, PBB telah meminta Israel untuk menarik perintah tersebut. Alasannya, “mustahil” bagi warga Palestina untuk sepenuhnya mematuhi. PBB juga memperingatkan seruan ini akan ada “konsekuensi kemanusiaan yang menghancurkan”.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengutuk keras perintah Israel untuk mengevakuasi 22 rumah sakit yang merawat lebih dari 2.000 pasien di Gaza utara.

WHO mengatakan bahwa nyawa mereka yang berada dalam perawatan intensif atau yang bergantung pada alat bantu hidup, bayi baru lahir di inkubator, dan pasien lainnya, kini sedang dipertaruhkan.

“Memaksa lebih dari 2.000 pasien untuk pindah ke Gaza selatan sama saja dengan hukuman mati,” tulis WHO dalam sebuah pernyataan.

WHO mengatakan sebagian besar petugas kesehatan memilih untuk tetap tinggal, daripada mengambil risiko memindahkan pasien mereka yang sakit kritis, sebuah pilihan yang disebutnya “mustahil”.

WHO juga memperingatkan bahwa banyak warga sipil yang mencari perlindungan di sekitar rumah sakit, dan mengatakan bahwa nyawa mereka juga terancam “ketika fasilitas kesehatan dibom”.

WHO mengakhiri pernyataannya dengan menyerukan Israel “untuk segera membatalkan perintah evakuasi ke rumah sakit di Gaza utara,” dan menyerukan “perlindungan fasilitas kesehatan, pekerja kesehatan, pasien, dan warga sipil”.

Pemindahan yang mustahil

Dalam satu ulasan, Kepala Koresponden Internasional BBC di Israel Selatan, Lyse Doucet mengatakan mustahil untuk memindahkan lebih dari satu juta orang dalam waktu sehari.

Hal ini mengingat kondisi jalanan rusak, bom masih berjatuhan, rumah-rumah hancur, sementara lansia dan orang-orang yang terluka masih membutuhkan pertolongan.

Dalam sebuah konferensi pers, Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Daniel Hagari belum bisa memastikan apakah akan menambah perpanjangan waktu untuk proses relokasi tersebut.

“Ini adalah zona perang, kami berusaha memberikan mereka waktu dan kami melakukan banyak upaya, dan kami memahami bahwa ini tidak akan memakan waktu 24 jam,” ujarnya menanggapi pertanyaan BBC pada sebuah konferensi pers mengenai jangka waktu yang dibutuhkan Israel.

Ketika didesak apakah ia mengatakan bahwa IDF memahami akan membutuhkan waktu lebih dari 24 jam untuk mengevakuasi warga Gaza, Hagari menjawab: “Kami memahami bahwa ini akan memakan waktu. Hanya itu yang bisa saya katakan.”

Di sisi lain, pihak Hamas mengatakan agar warga jangan pindah. Seorang pejabatnya menggambarkan perintah Israel agar warga pindah ke bagian selatan sebagai “propaganda palsu”, dan mendesak warga di sana untuk mengabaikannya.

Foto warga Gaza sedang berkemas pagi tadi. Mereka bersiap meninggalkan wilayah utara Gaza ke bagian selatan, menyusul perintah Israel.

Warga sipil di daerah tersebut kini terjebak di antara peringatan Israel – menjelang serangan darat yang diperkirakan akan terjadi di Gaza – dan pernyataan Hamas yang meminta warga untuk mengabaikannya.

Israel mengatakan mereka telah menjatuhkan 6.000 bom seberat 4.000 ton ke sasaran Hamas di Gaza selama enam hari.

Angkatan udara Israel mengatakan serangan udara telah menghantam lebih dari 3.600 sasaran.

Human Rights Watch mengatakan telah memperoleh dan menganalisis video di Gaza dan Lebanon yang menunjukkan ledakan peluru artileri fosfor putih. HRW juga menyoroti foto kantor berita AFP di Gaza yang menunjukkan garis-garis putih di langit.

“Penggunaan fosfor putih di Gaza, salah satu wilayah terpadat di dunia, memperbesar risiko terhadap warga sipil dan melanggar larangan hukum humaniter internasional yang menempatkan warga sipil pada risiko yang tidak perlu,” kata organisasi hak asasi manusia tersebut dalam sebuah pernyataan.

Fosfor putih tidak dilarang berdasarkan hukum internasional karena memiliki kegunaan yang sah, namun karena dampak berbahaya yang ditimbulkannya terhadap manusia, penggunaannya diatur dengan ketat.

Angkatan bersenjata Israel menggunakan fosfor putih sebagai tabir asap saat menyerang Gaza tahun 2008-2009. Kala itu, beberapa kelompok hak asasi manusia menuduh Israel melakukan kejahatan perang.

Militer Israel mengatakan pada tahun 2013 bahwa mereka akan menghentikan penggunaan bahan kimia tersebut sebagai kamuflase.

(nvc/detik)