Myong Suk membungkuk diam-diam sembari menelepon. Dia berusaha mati-matian untuk melego barang dagangannya. Sebagai seorang pengusaha perempuan yang lihai, dia menjual obat selundupan dalam jumlah sangat kecil secara rahasia kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya – hanya cukup agar dia dapat bertahan hidup hari itu. Dia telah ditangkap sekali dan hampir tidak mampu membayar suap agar bisa keluar dari penjara.
Jika ditangkap, dia tidak akan lagi mampu luput dari bui. Namun, sewaktu-waktu bisa saja ada ketukan di pintu. Bukan hanya polisi yang dia takuti, melainkan juga tetangganya. Sekarang hampir tidak ada orang yang bisa dia percayai. Dulu tidak seperti ini. Bisnis obat Myong Suk dulu berkembang pesat.
Akan tetapi semuanya berubah ketika Korea Utara menutup perbatasannya pada 27 Januari 2020 guna merespons pandemi. Penutupan itu tidak hanya menghentikan orang masuk ke Korut, tetapi juga makanan dan barang. Warga Korut yang memang sudah dilarang pergi ke luar negeri, dikurung di kota-kota.
Para pekerja kemanusiaan dan diplomat telah berkemas dan pergi. Seluruh penjaga perbatasan diperintahkan untuk menembak siapa pun bahkan yang mendekati perbatasan. Negara paling terisolasi di dunia itu menjadi lubang hitam informasi.
Di bawah pemerintahan tirani Kim Jong Un, warga Korea Utara dilarang melakukan kontak dengan dunia luar. Dengan bantuan organisasi Daily NK, yang mengoperasikan jaringan sumber di dalam Korut, BBC dapat berkomunikasi dengan tiga orang biasa.
Mereka sangat ingin memberi tahu dunia tentang dampak penutupan perbatasan terhadap kehidupan mereka. Mereka paham jika pemerintah mengetahui bahwa mereka berbicara dengan kami, kemungkinan besar mereka akan dibunuh.
Untuk melindungi mereka, kami hanya dapat mengungkapkan sebagian dari apa yang telah mereka ceritakan kepada kami. Kendati demikian, pengalaman mereka menawarkan gambaran eksklusif tentang situasi yang terjadi di dalam Korea Utara.
“Situasi makanan kami tidak pernah seburuk ini,” kata Myong Suk. Seperti kebanyakan perempuan di Korea Utara, dia adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Gaji kecil yang diperoleh kaum suami dalam pekerjaan wajib negara hampir tiada artinya. Hal ini memaksa para istri untuk menemukan cara kreatif untuk mencari nafkah.
Sebelum penutupan perbatasan, Myong Suk mendapatkan obat-obatan selundupan dari China yang sangat dibutuhkan, termasuk antibiotik, untuk dijual di pasar lokal. Dia perlu menyuap penjaga perbatasan, yang menghabiskan lebih dari setengah keuntungannya. Namun, dia menerima hal ini sebagai bagian dari permainan.
Penjualan obat-obatan selundupan tersebut membuat dia bisa menjalani kehidupan yang nyaman di kotanya di bagian utara Korut dekat perbatasan China.
Tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya selalu membuatnya stres, tetapi sekarang cuma itu yang dia pikirkan. Sebab, hampir tidak mungkin mendapatkan produk untuk dijual.
Suatu kali, dalam keputusasaan, dia mencoba menyelundupkan obat itu sendiri, tetapi tertangkap, dan sekarang dia diawasi terus-menerus. Dia telah mencoba menjual obat Korea Utara sebagai gantinya, tetapi bahkan itu sulit ditemukan akhir-akhir ini, yang berarti penghasilannya berkurang setengah.
Sekarang ketika suami dan anak-anaknya bangun, dia menyiapkan sarapan jagung untuk mereka. Hari-hari ketika mereka bisa makan nasi putih sudah berlalu. Tetangganya yang lapar sudah mulai mengetuk pintu meminta makanan, tetapi dia harus menolak mereka.
“Kita hidup di garis depan kehidupan,” katanya.
Di kota lain di perbatasan, Chan Ho yang berprofesi sebagai pekerja konstruksi, mengalami pagi yang membuat frustrasi. “Saya ingin orang-orang tahu bahwa saya menyesal dilahirkan di negara ini,” curhatnya.
Dia bangun pagi lagi untuk membantu istrinya menyiapkan dagangan di pasar, kemudian menuju ke lokasi konstruksi. Dia membawa barang dagangan dan menatanya di kios dengan penuh kesadaran bahwa bisnisnya adalah satu-satunya alasan dia masih hidup.
Uang 4.000 won yang dia hasilkan sehari – setara dengan Rp 60.000 – tidak lagi cukup untuk membeli satu kilogram beras. Dia sudah lupa kapan keluarganya terakhir kali menerima jatah makanan pemerintah, karena saking lamanya.
Pasar, tempat kebanyakan orang Korea Utara membeli makanan mereka, sekarang hampir kosong, katanya. Harga beras, jagung, dan bumbu melambung tinggi. Karena Korea Utara tidak menghasilkan makanan yang cukup untuk memberi makan rakyatnya, negara itu bergantung pada impor.
Namun, ketika menyegel perbatasan, pemerintah justru menghentikan pasokan makanan yang vital, bersama pupuk dan mesin yang dibutuhkan untuk bercocok tanam.
Awalnya Chan Ho takut dia akan meninggal karena Covid. Tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai khawatir mati kelaparan, terutama ketika dia melihat orang-orang di sekitarnya meninggal. Keluarga pertama di desanya yang tewas kelaparan adalah seorang ibu dan anak-anaknya.
Sebelum tutup usia, si ibu terlalu sakit untuk bekerja. Sedangkan anak-anaknya mempertahankan hidup mereka dengan meminta-minta makanan. Pada akhirnya ketiganya meninggal dunia.
Ada pula seorang ibu yang dihukum kerja paksa karena melanggar aturan karantina. Dia dan putranya kemudian mati kelaparan.
Lantas, baru-baru ini, salah satu putra kenalan Chan Ho dibebaskan dari tugas militer karena kekurangan gizi. Chan Ho ingat wajahnya tiba-tiba membengkak. Dalam waktu seminggu dia telah meninggal.
“Saya tidak bisa tidur ketika memikirkan anak-anak saya, harus hidup selamanya di neraka tanpa harapan ini,” katanya.
Ratusan kilometer jauhnya, di ibu kota Pyongyang yang relatif makmur, Ji Yeon naik kereta bawah tanah untuk bekerja. Dia kelelahan, setelah kemarin malam dia juga tidak bisa tidur.
Dia menopang dua anak dan suaminya dari uang yang dia hasilkan dengan bekerja di toko makanan. Dia biasa mengambil buah dan sayuran dari toko untuk dijual di pasar. Rokok yang diterima suaminya sebagai suap dari rekan-rekan kerjanya pun ikut dijual. Uang hasil penjualan dipakai membeli beras.
Sekarang tasnya digeledah secara menyeluruh ketika dia pergi, dan suap dari suaminya berhenti datang. Tidak ada yang mampu memberikan apa pun.
“Mereka membuat mustahil bagi kami untuk memiliki bisnis sampingan,” keluhnya.
Ji Yeon sekarang menjalani hari-harinya dengan berpura-pura telah makan tiga kali, padahal sebenarnya dia hanya makan satu kali. Kelaparan dia bisa tahan. Itu lebih baik daripada orang tahu dia miskin.
Selama sepekan dia begitu gelisah karena terpaksa makan puljuk – sayuran, tumbuhan dan rumput ditumbuk kemudian digiling menjadi bubur seperti pasta. Makanan itu identik dengan masa paling suram dalam sejarah Korea Utara – kelaparan dahsyat pada 1990-an yang menewaskan tiga juta orang.
“Kami bertahan hidup dengan berpikir 10 hari ke depan, lalu 10 hari lagi, berpikir jika suami saya dan saya kelaparan setidaknya kami akan memberi makan anak-anak kami,” kata Ji Yeon.
Baru-baru ini dia tidak makan selama dua hari. “Saya pikir saya akan mati dalam tidur dan tidak bangun di pagi hari,” katanya.
Terlepas dari kesulitannya sendiri, Ji Yeon memperhatikan kondisi orang-orang yang lebih buruk. Ada lebih banyak pengemis akhir-akhir ini. Dia kerap berhenti untuk memeriksa yang berbaring, tetapi biasanya dia menemukan mereka sudah meninggal.
Suatu hari dia mengetuk pintu tetangganya untuk memberi mereka air, tetapi tidak ada jawaban. Ketika pihak berwenang masuk ke dalam rumah tiga hari kemudian, mereka menemukan seluruh keluarga telah mati kelaparan.
“Ini bencana,” katanya. “Tanpa persediaan yang datang dari perbatasan, orang tidak tahu bagaimana bisa hidup.”
Baru-baru ini dia mendengar ada orang bunuh diri di rumah, sementara ada yang menghilang ke gunung untuk meninggal. Dia menyesalkan mentalitas kejam yang menyelimuti kota. “Bahkan jika orang mati di sebelah rumah, Anda hanya memikirkan diri Anda sendiri. Itu tidak berperasaan.”
Desas-desus bahwa orang-orang mati kelaparan telah memicu kekhawatiran Korea Utara berada di ambang bencana kelaparan lagi. Ekonom Peter Ward, yang mempelajari Korea Utara, menggambarkan laporan ini sebagai “sangat memprihatinkan”.
“Anda mungkin hanya pernah mendengar tentang orang-orang yang mati kelaparan. Tetapi ketika Anda benar-benar mengetahui orang-orang di sekitar Anda kelaparan, ini menyiratkan situasi pangan yang sangat serius – lebih serius dari yang kita sadari dan lebih buruk sejak bencana kelaparan di akhir 1990-an,” paparnya.
Bencana kelaparan Korea Utara menandai titik balik dalam sejarah Korut yang relatif singkat sekaligus memicu kehancuran tatanan sosialnya yang kaku. Karena tidak mampu memberi makan rakyatnya, negara sejatinya memberi mereka sedikit kebebasan untuk melakukan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Ribuan orang meninggalkan Korut dan mencari perlindungan di Korea Selatan, Eropa, atau Amerika Serikat. Sementara itu, pasar swasta berkembang karena kaum perempuan mulai menjual segala sesuatu mulai dari kedelai hingga pakaian bekas dan barang elektronik China.
Ekonomi informal lahir dan dengan itu seluruh generasi Korea Utara telah belajar hidup dengan sedikit bantuan dari negara – kaum kapitalis berkembang pesat di negara komunis yang represif.
Saat pasar tutup di penghujung hari, Myong Suk menghitung pendapatannya yang berkurang. Dia khawatir negara memburunya dan orang-orang generasi kapitalis. Pandemi, dia yakin, hanya memberi pihak berwenang alasan untuk menggunakan kembali kendali atas kehidupan orang.
“Mereka benar-benar ingin menindak penyelundupan dan menghentikan orang melarikan diri,” katanya. “Sekarang, meskipun Anda hanya mendekati sungai ke China, Anda akan diberikan hukuman yang keras.”
Chan Ho, pekerja konstruksi, juga mendekati titik puncaknya. Ini adalah periode terberat yang pernah dia jalani. Kelaparan itu sulit, katanya, tetapi tidak ada tindakan keras dan hukuman yang keras. “Jika orang ingin melarikan diri, negara tidak bisa berbuat banyak,” katanya.
“Sekarang, satu langkah salah dan Anda menghadapi eksekusi.”
Putra temannya baru-baru ini menyaksikan beberapa eksekusi yang dilakukan oleh negara. Dalam setiap kejadian, tiga hingga empat orang tewas. Kejahatan mereka: berusaha melarikan diri.
“Jika saya hidup dengan aturan, saya mungkin akan mati kelaparan, tetapi hanya dengan mencoba bertahan hidup, saya khawatir saya bisa ditangkap, dicap sebagai pengkhianat, dan dibunuh,” kata Chan Ho kepada kami.
“Kami terjebak di sini, menunggu untuk mati.”
Sebelum penutupan perbatasan, lebih dari 1.000 orang yang melarikan diri biasanya tiba di Korea Selatan setiap tahun. Namun, sejak perbatasan ditutup hanya segelintir yang diketahui telah melarikan diri dan selamat di Korea Selatan.
Citra satelit, yang dianalisis oleh LSM Human Rights Watch, menunjukkan bahwa pihak berwenang telah menghabiskan tiga tahun terakhir membangun banyak tembok, pagar, dan pos jaga untuk membentengi perbatasan sehingga hampir mustahil untuk melarikan diri.
Mencoba menghubungi orang di luar negeri pun semakin berbahaya. Di masa lalu, penduduk di dekat perbatasan dapat melakukan panggilan telepon rahasia ke luar negeri dengan menghubungkan ke jaringan seluler China dan menggunakan ponsel China yang diselundupkan ke negara tersebut.
Sekarang, di setiap pertemuan komunitas, Chan Ho mengatakan siapa pun yang memiliki telepon China disuruh menyerahkan diri. Baru-baru ini, kenalan Myong Suk tertangkap sedang berbicara dengan seseorang di China dan dikirim ke penjara pendidikan ulang selama beberapa tahun.
Dengan menindak penyelundupan dan orang-orang yang menghubungi dunia luar, negara melucuti kemampuan warganya untuk mengurus diri sendiri, kata Hanna Song dari Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia (NKDB) Korea Utara.
“Pada saat makanan sudah langka, mereka menyadari sepenuhnya kerusakan yang akan timbul,” katanya.
Namun kontrol ekstrem ini tidak dapat mencegah virus corona. Pada 12 Mei 2022, hampir dua setengah tahun setelah pandemi, Korea Utara mengonfirmasi kasus resmi pertamanya. Tanpa sarana untuk menguji orang, mereka yang demam pada dasarnya, dikurung di rumah selama 10 hari.
Mereka dan seluruh penghuni rumah dilarang mengambil satu langkah pun di luar. Saat wabah menyebar, seluruh kota dan jalan dikunci, dalam beberapa kesempatan selama lebih dari dua minggu.
Di Pyongyang, Ji Yeon melihat dari jendela rumahnya saat beberapa tetangganya, yang tidak memiliki cukup makanan untuk bertahan selama lockdown, mendapat sayuran di luar pintu mereka setiap dua hari sekali. Tapi di sepanjang perbatasan tidak ada bantuan seperti itu.
Myong Suk panik. Dia sudah tak punya apa-apa lagi, lemari makanannya kosong. Inilah yang membuat dia menjual obat-obatan secara rahasia. Menurutnya, lebih baik mendapat uang dan berisiko tertular virus daripada berisiko kelaparan.
Chan Ho mengatakan ada lima keluarga dalam keadaan “setengah mati” pada saat mereka dibebaskan dari lockdown. Mereka bisa bertahan hidup dengan menyelinap keluar rumah untuk mencari makanan setelah gelap.
“Orang-orang yang patuh pada aturan dan diam di rumah tidak dapat bertahan hidup,” katanya.
“Orang-orang berteriak-teriak, mengatakan mereka akan kelaparan, dan selama beberapa hari pemerintah mengeluarkan beras darurat dari persediaannya,” ungkapnya.
Ada sejumlah laporan bahwa di beberapa daerah karantina wilayah dibatalkan lebih awal ketika sudah jelas para warga tidak akan selamat.
Mereka yang tertular virus tidak dapat mengandalkan rumah sakit di negara it mengingat obat-obatan dasar habis. Imbauan resmi pemerintah adalah menggunakan pengobatan tradisional untuk meredakan gejala.
Saat Ji Yeon sendiri jatuh sakit, dia mati-matian menelepon teman-temannya untuk meminta anjuran. Mereka merekomendasikan dia minum air mendidih yang dicampur akar daun bawang.
Menurut Ji Yeon, banyak orang tua dan anak-anak meninggal karena Covid-19. Di Korut yang diperkirakan 40% populasinya kekurangan gizi menurut PBB, para ahli kesehatan mengatakan masuk akal bahwa anak-anak jatuh sakit tidak seperti di negara lain.
Salah satu dokter memberi tahu Ji Yeon bahwa saat wabah berlangsung, sekitar satu dari 550 orang di setiap lingkungan permukiman di Pyongyang meninggal. Jika diekstrapolasi ke seluruh negeri, itu setara dengan lebih dari 45.000 kematian – ratusan kali jumlah kematian resmi, yaitu 74 orang.
Namun, Ji Yeon diberitahu bahwa setiap orang yang meninggal karena Covid dilabeli faktor lain, entah itu tuberkulosis atau sirosis hati.
Pada Agustus 2022, tiga bulan setelah wabah, pemerintah menyatakan kemenangan atas virus tersebut, mengklaim virus corona telah diberantas dari negara tersebut. Namun banyak tindakan dan aturan karantina masih berlaku.
Ketika Kim Jong Un menyegel perbatasan sedemikian ekstrem, dia mengejutkan masyarakat internasional. Korea Utara adalah salah satu negara yang mendapat sanksi paling berat di dunia, karena berupaya menciptakan senjata nuklir. Korut dilarang menjual sumber dayanya ke luar negeri, dan tidak dapat mengimpor bahan bakar.
Mengapa, banyak yang bertanya, sebuah negara yang sudah mengalami kehancuran ekonomi rela menimbulkan begitu banyak rasa sakit pada dirinya sendiri?
“Saya pikir para pemimpin memutuskan bahwa Covid-19 dapat membunuh banyak orang, atau setidaknya golongan orang yang salah, orang-orang yang mereka khawatirkan akan mati,” kata Peter Ward, mengacu pada militer dan elite yang mempertahankan kekuasaan keluarga Kim.
Lantaran sistem perawatan kesehatan Korut adalah salah satu yang terburuk di dunia, dan populasinya kekurangan gizi dan tidak divaksinasi, masuk akal untuk berasumsi banyak yang akan meninggal dunia akibat Covid.
Namun, menurut Hanna Song dari NKDB, Covid juga telah memberi Kim Jong Un kesempatan sempurna untuk menggunakan kembali kendali atas kehidupan masyarakat. “Inilah yang diam-diam ingin dia lakukan untuk waktu yang sangat lama,” katanya.
“Prioritasnya selalu mengisolasi dan mengendalikan rakyatnya sebanyak mungkin.”
Setelah menyiapkan dan menyantap makan malam seadanya, Ji Yeon mencuci piring dan membersihkan rumahnya dengan handuk lembab. Dia naik ke tempat tidur lebih awal, berharap bisa beristirahat lebih baik.
Dia mungkin bisa tidur lebih lama daripada Chan Ho. Karena pekerjaannya begitu sibuk akhir-akhir ini, dia kerap tertidur di lokasi konstruksinya.
Namun di kota perbatasannya yang relatif sepi, Myong Suk mencuri waktu sejenak untuk bersantai, duduk bersama keluarganya untuk menonton TV menggunakan baterai yang telah mereka isi ulang di siang hari.
Dia sangat menikmati serial drama Korea Selatan, meskipun dilarang. Serial-serial tersebut diselundupkan melintasi perbatasan dengan kartu micro-SD dan dijual secara rahasia. Rilisan terbaru yang dilihat Myong Suk adalah tentang bintang K-pop yang muncul di rumah keluarganya mengaku sebagai putra mereka yang telah lama hilang.
Sejak penutupan perbatasan, hampir tidak ada serial baru yang berhasil masuk ke negara itu, katanya. Ditambah lagi, penggerebekan begitu keras sehingga orang menjadi lebih berhati-hati.
Dia mengacu pada Undang-Undang Penolakan Ideologi dan Budaya Reaksioner, yang disahkan pada Desember 2020. Di bawah undang-undang ini, mereka yang menyelundupkan video asing ke dalam negeri dan mendistribusikannya dapat dieksekusi.
Chan Ho menyebut ini “hukum baru yang paling menakutkan”. Hanya menonton video dapat menyebabkan 10 tahun penjara. Tujuan undang-undang tersebut, menurut salinan teks yang diperoleh kantor berita Daily NK, adalah untuk mencegah penyebaran “ideologi busuk yang merusak masyarakat kita”.
Satu hal yang dianggap ditakuti Kim Jong Un di atas segalanya adalah rakyatnya belajar tentang dunia yang makmur dan bebas di luar perbatasan mereka, serta menyadari kebohongan yang dijual kepada mereka.
Chan Ho mengatakan sejak undang-undang disahkan, video asing hampir menghilang. Hanya generasi muda yang berani menonton, membuat orang tua mereka sangat khawatir.
Ji Yeon menuturkan persidangan publik baru-baru ini di Pyongyang. Para pemimpin setempat berkumpul untuk mengadili seorang pria berusia 22 tahun yang telah membagikan lagu dan film Korea Selatan. Dia dijatuhi hukuman 10 tahun tiga bulan di kamp kerja paksa.
Sebelum tahun 2020, Ji Yeon mengatakan persidangan berjalan tenang, dengan kemungkinan satu tahun penjara.
“Orang-orang terkejut betapa kerasnya hukuman itu,” katanya. “Sangat menakutkan, cara mereka menargetkan anak muda.”
Ryu Hyun Woo, mantan diplomat Korea Utara yang membelot dari pemerintah pada 2019, mengatakan undang-undang itu diberlakukan untuk memastikan kesetiaan anak muda, karena mereka tumbuh dengan sikap yang berbeda dari orang tua mereka.
“[Generasi] kami tumbuh dengan menerima hadiah dari negara, tetapi di bawah Kim Jong Un negara tidak memberikan apa-apa kepada rakyat,” ungkapnya. Kaum muda sekarang mempertanyakan apa yang pernah dilakukan negara untuk mereka.
Untuk menegakkan hukum, pemerintah telah membentuk kelompok yang “tanpa ampun” menindak apa pun yang dianggap anti-sosialis, kata Ji Yeon. “Orang-orang tidak saling percaya sekarang. Ketakutannya luar biasa.”
Ji Yeon sendiri dibawa untuk diinterogasi berdasarkan undang-undang baru. Sejak interogasinya, dia tidak pernah mengungkapkan kepada orang lain apa yang sebenarnya dia pikirkan. Dia lebih takut pada orang sekarang.
Erosi kepercayaan ini mengkhawatirkan Profesor Andrei Lankov, yang telah mempelajari Korea Utara selama 40 tahun. “Jika orang tidak percaya satu sama lain, tidak ada titik awal untuk perlawanan,” ucapnya.
“Artinya, Korea Utara dapat stabil dan bertahan selama bertahun-tahun dan dekade yang akan datang.”
Pada Januari 2023, pemerintah mengeluarkan undang-undang terbaru yang melarang rakyat menggunakan kata-kata yang terkait dengan dialek Korea Selatan. Melanggar hukum ini, dalam kasus yang paling ekstrem, dapat mengakibatkan eksekusi. Ji Yeon mengatakan sekarang ada terlalu banyak undang-undang untuk diingat, dan orang-orang dibawa pergi tanpa mengetahui aturan apa mereka langgar.
Saat ditanya, jaksa hanya menjawab dengan mengatakan: “Kamu tidak perlu tahu hukum mana yang kamu langgar.”
“Apa yang dibagikan oleh ketiga orang Korea Utara ini mendukung anggapan bahwa Korea Utara bahkan lebih represif dan totaliter daripada sebelumnya,” kata Sokeel Park, dari organisasi Liberty di Korea Utara, yang membantu pelarian warga Korea Utara.
“Ini adalah tragedi yang menghancurkan yang sedang berlangsung,” tuturnya.
Baru-baru ini ada tanda-tanda pihak berwenang bersiap membuka perbatasan.
Myong Suk dan Chan Ho, yang tinggal di dekat perbatasan, mengatakan sebagian besar orang di kota mereka telah divaksinasi Covid – yang mereka duga vaksin China.
Sementara di Pyongyang, Ji Yeon mengatakan banyak orang telah menerima dua suntikan. Selain itu, data bea cukai menunjukkan negara itu kembali mengizinkan sejumlah biji-bijian dan tepung melewati perbatasan dari China, kemungkinan untuk mengurangi kekurangan pasokan sekaligus mencegah kelaparan yang sangat ditakuti.
Ji Yeon ingat ketika Kim Jong Un bertemu Presiden AS Donald Trump pada 2018 untuk bernegosiasi menyerahkan senjata nuklirnya. Dia ingat dipenuhi dengan harapan dan tawa, berpikir mungkin dia akan segera bisa bepergian ke luar negeri.
Perundingan terhenti dan sejak itu Kim terus menghabiskan keuangannya yang terbatas untuk meningkatkan persenjataan nuklirnya seraya menolak semua tawaran diplomasi dari komunitas internasional. Pada tahun 2022, dia melakukan sejumlah uji coba rudal.
“Kami ditipu,” kata Ji Yeon. “Penutupan perbatasan ini telah membuat hidup kami mundur 20 tahun. Kami merasa sangat dikhianati.”
“Khalayak tidak pernah menginginkan pengembangan senjata tanpa akhir ini, yang membawa kesulitan dari generasi ke generasi,” keluhnya.
Chan Ho menyalahkan komunitas internasional. “AS dan PBB tampaknya setengah dungu,” katanya, mempertanyakan mengapa mereka masih menawarkan untuk bernegosiasi dengan Kim Jong Un, padahal sudah jelas dia tidak akan menyerahkan senjatanya. Dia malah berharap AS akan menyerang negaranya.
“Hanya dengan perang, dan dengan menyingkirkan seluruh kepemimpinan, kita bisa bertahan,” katanya. “Mari kita akhiri ini dengan satu atau lain cara.”
Myong Suk setuju. “Jika ada perang, rakyat akan berpaling dari pemerintah,” katanya. “Itulah kenyataannya.”
Tapi Ji Yeon berharap sesuatu yang lebih sederhana. Dia ingin hidup dalam masyarakat yang tidak kelaparan, tetangganya masih hidup, dan mereka tidak harus saling memata-matai. Dan dia ingin makan nasi tiga kali sehari.
Terakhir kali kami mendengar kabar darinya, dia tidak punya cukup uang untuk memberi makan anaknya.
Kami menyerahkan temuan kami kepada pemerintah Korea Utara (DPRK). Seorang perwakilan dari kedutaan besar Korut di London mengatakan: “Informasi yang Anda kumpulkan tidak sepenuhnya faktual karena berasal dari kesaksian palsu dari pasukan anti-DPRK. DPRK selalu mengutamakan kepentingan rakyat bahkan di masa-masa sulit dan memiliki pendirian yang teguh. komitmen terhadap kesejahteraan rakyat.
“Kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama kami, bahkan dalam menghadapi cobaan dan tantangan.”
BBC ingin berterima kasih kepada Lee Sang-Yong dan tim di Daily NK karena telah membantu kami mengumpulkan wawancara ini. Kami juga ingin berterima kasih kepada Chung Seung-Yeon dan tim di NK News karena membantu kami memverifikasi beberapa temuan kami, dan memberi kami foto yang diambil di Korea Utara.
(nvc/detik)