Kisah Pilu Dokter di Gaza: Terpaksa Biarkan Pasien Menjerit Berjam-jam

0
Jakarta – Dokter-dokter dari berbagai penjuru Gaza bercerita mengenai bagaimana mereka terpaksa mengoperasi pasien tanpa anestesi, harus menolak pasien dengan kondisi kronis, dan merawat luka yang membusuk dengan peralatan medis seadanya.

“Karena kurangnya persediaan obat penghilang rasa sakit kami terpaksa membiarkan pasien-pasien menjerit selama berjam-jam,” seorang dokter berkata kepada BBC.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan buruknya kondisi pelayanan kesehatan di Gaza “tidak bisa digambarkan dengan kata-kata”.

Menurut WHO, 23 rumah sakit di Gaza sama sekali tidak berfungsi per hari Minggu (18/02), sementara 12 lainnya hanya berfungsi sebagian dan satu RS hanya seadanya.

Dinas kesehatan setempat menyebut “sistem yang sudah kekurangan sumber daya” kian “bobrok” akibat serangan udara dan kelangkaan pasokan.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengeklaim bahwa Hamas “secara sistematis menggunakan banyak rumah sakit dan pusat kesehatan dalam melancarkan aksi teror mereka”.

Dalam pernyataan yang diterima BBC, IDF mengatakan “[kami] tidak ‘menyerang’ rumah-rumah sakit, tetapi memasuki area-area spesifik [untuk] melumpuhkan infrastruktur dan perlengkapan Hamas, juga menangkap teroris-teroris Hamas” dan “tindakan [mereka] dilakukan dengan sangat berhati-hati”.

IDF menambahkan bahwa mereka mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, termasuk persediaan medis.

Organisasi-organisasi bantuan kemanusiaan, termasuk WHO, mengatakan bahwa telah terjadi “pembatasan dan penolakan akses masuk yang berulang-ulang”.

Rumah sakit kewalahan

Para petugas kesehatan di Gaza mengatakan banyak rumah sakit di sana kelebihan kapasitas dan peralatan pun terbatas. Beberapa laporan menyebut jumlah pasien di sebagian rumah sakit di Gaza mencapai 300% melebihi kapasitas tempat tidur.

WHO mengatakan empat rumah sakit lapangan telah didirikan di Gaza dengan total 305 tempat tidur.

Pada hari Minggu (18/02), Rumah Sakit Nasser di Gaza dilaporkan menjadi fasilitas terakhir yang menjadi tidak berfungsi setelah diserbu militer Israel.

IDF mengatakan pada Minggu (18/02) malam bahwa mereka telah menemukan senjata di rumah sakit itu serta obat-obatan dengan nama dan foto sandera di atasnya. IDF juga mengeklaim telah menangkap “ratusan teroris” yang bersembunyi di rumah sakit.

“Hamas terus-menerus menempatkan penduduk Gaza yang paling rentan dalam marabahaya dengan secara egois menggunakan rumah-rumah sakit untuk aksi teror,” kata IDF kepada BBC.

Sejarah Rafah, kota tempat jutaan warga Palestina mengungsi yang terancam serangan darat Israel

Israel gempur Rafah demi bebaskan dua sandera, puluhan warga Palestina tewas

Mereka yang bertugas di rumah-rumah sakit di dekat RS Nasser mengaku semakin kewalahan.

Yousef al-Akkad, direktur RS Eropa Gaza di Khan Younis, menggambarkan kondisi saat ini adalah “yang paling parah semenjak awal perang dimulai”.

“Situasi sebelumnya sudah parah, jadi Anda kira-kira saja bagaimana rasanya menerima ribuan pasien terlantar dan sekarang berada di koridor-koridor [RS] dan area publik lainnya?”

Dia menambahkan rumah sakitnya tidak punya tempat tidur yang bisa mencukupi kebutuhan pasien yang perlu perawatan. Petugas rumah sakit pun terpaksa menggelar sprei di atas rangka besi dan kayu sehingga para pasien “tidur di lantai tanpa berselimutkan apa pun”.

Dokter-dokter lainnya di Gaza mendeskripsikan situasi serupa.

“Bahkan jika ada yang kena serangan jantung atau masalah jantung lainnya, kami meletakkan mereka di lantai dan menangani mereka,” ujar Dr Marwan al-Hams, direktur RS Martyr Mohammed Yusuf al-Najjar yang terletak di Rafah.

Pejabat Hamas menunjuk kepala-kepala RS publik di Gaza. Dalam beberapa kasus, para direktur ini sudah bertugas sebelum Hamas menguasai Jalur Gaza.

Obat-obatan dan persediaan

Para dokter mengaku kesulitan karena terbatasnya suplai medis. “Kami tidak bisa bernapas sedikit saja,” ujar salah satu dokter kepada BBC.

“Kami kekurangan anestesi, suplai untuk ICU, antibiotik, dan obat penghilang rasa sakit,” kata Dr al-Akkad. “Banyak sekali orang menderita luka bakar yang parah kami tidak bisa menemukan obat penghilang rasa sakit yang cocok untuk mereka.”

Satu dokter mengaku tindakan-tindakan bedah berlangsung tanpa anestesi.

Sebuah tim dari WHO mengatakan mereka baru-baru ini bertemu dengan anak perempuan berusia tujuh tahun di RS Eropa Gaza yang menderita 75% luka bakar. Anak itu tidak mendapatkan obat penghilang rasa sakit karena persediaannya langka.

Dr Mohamed Salha, pejabat bertugas selaku direktur RS Al-Awda di utara Gaza, mengungkapkan bagaimana pasien-pasien dipindahkan dengan keledai dan kuda.

“Yang menjadi bencana adalah ketika luka pasien membusuk karena dibiarkan terbuka selama lebih dari dua atau tiga minggu,” ujarnya.

‘Kami hanya ingin perang berakhir’ – Kisah anak-anak Gaza yang menjadi yatim piatu akibat perang

Salha berkata dokter-dokter di rumah sakitnya melakukan operasi dengan senter kepala sebagai alat penerangan karena listrik terbatas.
Staf RS terpisah dengan keluarga mereka

WHO mengatakan ada sekitar 20.000 pekerja kesehatan di Gaza. Namun, sebagian besar dari mereka tidak bekerja “karena sudah kewalahan untuk bertahan hidup dan merawat keluarga sendiri”.

Dr al-Akkad mengatakan jumlah staf dan relawan di rumah sakitnya bertambah sebagian karena orang-orang yang terlantar di wilayah lain datang untuk membantu. Namun, dia mengaku ini masih tidak cukup untuk menangani pasien-pasien serta jenis luka yang diderita.

Setelah pengeboman, Dr al-Akkad berkata mereka yang menderita luka datang ke RS dan “terlihat seperti kofta” – kofta adalah hidangan lokal yang terbuat dari daging cincang.

“Orang yang sama datang dengan luka di bagian otak, rusuk patah, tangan atau kaki patah, kadang-kadang kehilangan bola mata semua luka yang bisa Anda bayangkan, Anda akan temukan di RS kami.”

Satu pasien bisa membutuhkan sedikitnya lima dokter spesialis untuk penanganan lukanya, sambung Dr al-Akkad.

Sebagian dokter terus bekerja kendati terpisah dari keluarga mereka.

“Keluarga saya sudah berada jauh dari saya selama tiga bulan lamanya dan saya kangen memeluk mereka,” ujar Dr Salha di Gaza utara. Keluarganya menyelamatkan diri ke selatan Gaza.

“Pelipur lara saya adalah bahwa saya di sini melayani anak-anak, perempuan, dan lansia untuk mendapat perawatan dan menyelamatkan nyawa mereka.”
Tiada ruangan untuk pasien kronis

Kepada BBC, para dokter di Gaza mengatakan bahwa pasien-pasien dengan kondisi kronis adalah yang paling nelangsa.

“Jujur saja, kami tidak punya tempat tidur untuk mereka atau kesempatan untuk menindaklanjuti keluhan,” tutur Dr al-Akkad.

“Pasien yang mestinya cuci darah seminggu empat kali sekarang cuma bisa satu minggu sekali. Kalau sebelumnya dia bisa cuci darah 16 jam dalam satu pekan, kini cuma bisa sejam.”

Sebagian perempuan melahirkan bayi mereka di tenda-tenda tanpa bantuan medis. Rumah-rumah sakit yang punya poli kebidanan mengaku kapasitas terbatas.

“Di satu tempat seseorang meninggal dan di tempat lain bayi baru dilahirkan. Anak-anak dilahirkan dan tidak ada susu untuk mereka. Rumah sakit menyediakan satu boks susu untuk setiap anak,” ujar Dr Salha.

Orang-orang datang ke rumah-rumah sakit dengan berbagai penyakit yang tersebar karena kondisi yang sesak dan tidak higienis.

“Ada penyakit-penyakit dan kami tidak bisa menemukan obatnya,” ucap Abu Khalil, 54, seorang pengungsi di Rafah.

“Kami harus pergi subuh-subuh untuk mengantre dan bisa jadi sudah ada 100 orang di depan Anda. Anda pun pulang tanpa pengobatan sama sekali.”

Reportase tambahan oleh Muath Al Khatib
(ita/detik)