Kitab Ibrani Tertua Dipajang di Israel Sebelum Dilelang

0

Tel Aviv – Kitab Ibrani terlengkap dan tertua kini dipamerkan di kota Israel, Tel Aviv, sebelum dijual dalam lelang.

Codex Sassoon diperkirakan dibuat sekitar 1.100 tahun yang lalu oleh seorang juru tulis di daerah Mesir atau Levant (wilayah Mediterania Timur).

Ini adalah contoh manuskrip tunggal paling awal yang berisi 24 buku dari Kitab Ibrani dengan tanda baca, vokal, dan aksen.

Kitab suci itu akan dilelang di Sotheby’s, New York pada Mei mendatang, yang diprediksi akan laku terjual dengan harga Rp 452 miliar hingga Rp 754 milar (US$ 30-50 juta).

Penjualan kitab itu bisa menciptakan rekor dunia menjadi dokumen sejarah termahal jika melebihi harga Rp 652 miliar (US$ 43,2 juta) yang dibayarkan dua tahun lalu untuk salinan Konstitusi Amerika Serikat edisi pertama yang langka.

Kitab Ibrani itu terdiri dari 24 buku yang dibagi menjadi tiga bagian: Pantateukh, Para Nabi, dan Tulisan (Pentateuch, the Prophets, dan the Writings). Pemeluk agama Kristen menyebutnya sebagai Perjanjian Lama.

Teks Kitab Ibrani terus mengalami perubahan hingga awal Abad Pertengahan, ketika para ahli kitab Yahudi yang dikenal sebagai Masoret mulai membuat sebuah kumpulan catatan yang menstandarisasikannya.

Aleppo Codex yang disusun pada tahun 930 dianggap sebagai teks Masoretik yang paling otoritatif. Namun, kerusakan akibat sebuah kebakaran di Kota Aleppo, Suriah, pada 1947 membuat hanya 295 dari 487 halaman asli yang mampu bertahan hingga hari ini.

Codex Sassoon, yang berdasarkan metode penanggalan karbon dibuat tahun 900, hanya kehilangan 12 halaman, menurut Sotheby’s.

Kitab ini adalah contoh paling awal dari satu manuskrip yang berisi semua buku Ibrani dengan tanda baca, vokal, dan aksennya.

Kitab ini adalah contoh paling awal dari satu manuskrip yang berisi semua buku Ibrani dengan tanda baca, vokal, dan aksennya. (Reuters)

“Itu menunjukkan ke kita, untuk pertama kalinya sebuah buku yang hampir lengkap dari Kitab Ibrani muncul dengan huruf vokal, kantilasi [tanda nyanyian], dan catatan di bagian bawah yang memberitahu bagaimana teks yang benar harus ditulis,” kata Sharon Mintz, spesialis artefak Yahudi senior di rumah lelang, kepada kantor berita AFP.

Merujuk pada anotasi dan inskripsi selama berabad-abad, manuskrip itu dijual oleh seorang pria bernama Khalaf ben Abraham kepada Ishak ben Yehezkiel al-Attar, yang kemudian mewariskan kepemilikan kepada kedua putranya, Yehezkiel dan Maimon.

Pada abad ke-13, kitab itu kemudian didedikasikan ke sebuah sinagoga di Makisin, timur laut Suriah.

Setelah kota itu dihancurkan baik oleh bangsa Mongol pada abad ke-13 atau oleh Timurid pada awal abad ke-15, manuskrip tersebut dipercayakan untuk diamankan ke Salama ibn Abi al-Fakhr.

Setelah itu, kitab itu menghilang dalam sejarah selama 500 tahun, hingga muncul kembali pada 1929 setelah diakuisisi oleh David Solomon Sassoon, yang mengumpulkan koleksi manuskrip Ibrani terbesar dan terpenting di dunia di rumahnya di London.

Codex Sassoon hanya pernah dipamerkan sekali sebelumnya dalam sejarah modern – di British Library pada tahun 1982.

Kurator Museum orang Yahudi ANU Tel Aviv, Orit Shaham Gover, mengatakan dia mengharapkan sekitar 10.000 pengunjung akan menghadiri pameran “kitab pertama yang selamat dalam sejarah” selama seminggu yang “langka dan mengharukan”.

“Kitab suci adalah dasar dari budaya Yahudi,” tambahnya. “Sebagai orang Israel dan Yahudi, saya pikir sangat penting bagi orang Israel untuk melihat kitab yang sangat penting ini.”

(nvc/detik)