Jakarta -Korea Utara sedang menghadapi krisis. Ekonomi negara tersebut sedang melambat karena aktivitas ekspornya dengan China belum mencapai kesepakatan. Kondisi krisis tersebut membuat sejumlah harga barang dan makanan melonjak gila-gilaan.
Mengutip The Economic Times, harga jagung dan beras di beberapa kota besar termasuk Pyongyang, sempat jatuh setelah penduduk setempat menerima jatah dari pemerintah. Tetapi di beberapa daerah lain justru melonjak yang menandakan terjadi fluktuasi harga komoditas di Korea Utara.
Beberapa barang mewah impor muncul kembali di rak-rak toko kota besar termasuk di Pyongyang pada awal tahun, ketika pembatasan perbatasan dilonggarkan.
Akan tetapi berdasarkan penuturan salah satu sumber kepada Reuters, harga tersebut telah melonjak kembali. Bahkan beberapa sampo dijual seharga US$ 200 atau setara dengan Rp 2,8 juta (kurs dollar Rp 14.397) per botol dan satu kilogram pisang dijual seharga US$ 45 atau setara Rp 647.865.
Ekspor China ke Korea Utara pun mengalami penurunan, tepatnya pada Mei turun menjadi US$ 2,71 juta dari US$28,75 juta pada bulan April. Hal tersebut memupus harapan para pedagang di perbatasan yang selama terimbas pandemi COVID-19.
Pakar Ekonomi Korea Utara, Peter Ward mengatakan, kenaikan beberapa komoditas bisa disebabkan karena situasi perdagangan luar negeri. Seperti diketahui, laporan pekan ini negara China kembali berencana akan melakukan pembatasan perbatasan terkait pandemi COVID-19 setidaknya selama satu ke depan, terlebih setelah timbul keraguan pada prospek Korea Utara.
“Pergerakan harga bahan bakar dan valas kemungkinan disebabkan oleh situasi perdagangan luar negeri,” kata Ward.
Menanggapi harga yang kian melonjak, pada pekan lalu pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan, bahwa ekonomi negaranya membaik tahun ini tetapi tetap menyerukan langkah-langkah untuk mengatasi situasi pangan yang disebabkan oleh pandemi virus Corona dan topan tahun lalu. Media pemerintah melaporkan bahwa pihaknya akan memproduksi dan mendistribusikan pangan berupa biji-bijian kepada masyarakat.
Selain adanya lonjakan harga komoditas, fluktuasi pun terjadi pada nilai tukar mata uang. Daily NK, sebuah situs web berbasis di Seoul telah melacak beberapa indikator yang terjadi di Korea Utara selama bertahun-tahun. Pada Selasa (22/6) lalu, won Korea Utara telah melonjak 15-20% terhadap dolar AS dan renminbi China.
Perubahan tersebut tampaknya sebagian didorong oleh organisasi dan individu Korea Utara yang menjual dolar dan yuan mereka dengan harapan dimulainya kembali perdagangan China-Korea Utara yang tidak terwujud.
“Setelah bertahun-tahun relatif stabil, gejolak harga dan nilai tukar internal dalam beberapa hari terakhir mengancam untuk meningkatkan tingkat keputusasaan rakyat dan dapat membuat pembukaan kembali perdagangan dengan China lebih sulit,” ujar sebuah sumber dikutip dari 38 North, media AS.
Kembali ke Peter Ward, bahwa dia mengatakan, kondisi pangan di luar negeri saat ini jauh lebih buruk. Bahkan, menurutnya, jika kondisi tersebut berlanjut maka dikhawatirkan akan terjadi krisis kelaparan.
“Dari apa yang bisa kita pelajari melalui Asia Press dan Daily NK, situasi pangan di luar beberapa kota besar sangat buruk. Jika tren ini berlanjut, kita harus mulai khawatir tentang kelaparan dan bahkan kelaparan di antara yang termiskin di Korea Utara,” tutupnya.
(fdl/fdl/detik)