Dilansir kantor berita AFP, Rabu (25/9/2024), hukuman mati terhadap Mohammed al-Ghamdi menyoroti apa yang digambarkan para kritikus sebagai peningkatan penindasan di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, penguasa de facto kerajaan Teluk tersebut.
Pangeran Mohammed membahas kasus tersebut dalam sebuah wawancara dengan Fox News yang ditayangkan pada bulan September 2023 lalu. Saat itu, Putra Mahkota Saudi itu mengatakan bahwa pemerintah “malu” atas hal itu dan menyatakan harapan bahwa putusan mati itu dapat diubah.
Hukuman mati Ghamdi dibatalkan pada banding pada bulan Agustus lalu.
Namun pengadilan banding menjatuhkan hukuman penjara 30 tahun kepadanya atas dakwaan yang sama, kata saudaranya, Saeed al-Ghamdi, seorang ulama Islam yang tinggal di Inggris, kepada AFP.
Sebelumnya, Mohammed al-Ghamdi telah dijatuhi hukuman mati pada bulan Juli 2023 oleh Pengadilan Pidana Khusus, yang dibentuk pada tahun 2008 untuk menangani kasus-kasus terkait terorisme.
Mantan guru tersebut, yang berusia 50-an tahun, ditangkap pada Juni 2022.
Kasus terhadapnya sebagian besar bermula dari unggahan yang mengkritik pemerintah dan menyatakan dukungannya terhadap para tahanan seperti ulama-ulama yang dipenjara Salman al-Awda dan Awad al-Qarni, kata saudaranya, Saeed al-Ghamdi, sebelumnya.
Akunnya di platform media sosial X hanya memiliki sembilan pengikut, kata Gulf Centre for Human Rights ketika masalah hukumnya terungkap tahun lalu.
“Perubahan keputusan dalam putusan ini membuktikan keadaan dramatis sistem peradilan kerajaan yang dipolitisasi,” tulis Saeed al-Ghamdi di X.
“Saudara saya tidak bersalah untuk ditangkap dan diadili dengan cara ini,” tambahnya.
Di bawah Pangeran Mohammed, Arab Saudi telah menjalankan agenda reformasi ambisius yang dikenal sebagai Visi 2030, yang dimaksudkan untuk mengubah kerajaan yang sebelumnya tertutup, menjadi tujuan wisata dan bisnis global.
Namun, otoritas Saudi terus mendapat kecaman atas catatan hak asasi negara tersebut dan pembatasan kebebasan berbicara khususnya.
(ita/detik)