Youzhou dengan penduduk satu juta jiwa menutup sistem transportasi, toko-toko dan tempat-tempat hiburan. Hanya toko makanan yang diizinkan buka dan hanya petugas penanganan pandemi yang boleh keluar rumah.
Sementara Kota Xian, provinsi di sebelum Yuzhou, telah berada dalam lockdown selama dua minggu.
Sejumlah warga Kota Xi’an, memilih melakukan barter beragam barang demi memperoleh makanan selama beberapa hari terakhir di tengah kekhawatiran menipisnya pasokan pangan akibat karantina ketat alias lockdown.
Berbagai unggahan foto dan video di media sosial Weibo memperlihatkan sejumlah warga membarter barang dengan makanan.
Rokok, misalnya, ditukar dengan kubis, sabun cuci piring dengan apel, dan pembalut wanita dengan beberapa ikat sayuran.
Sebuah video tampak menunjukkan seorang warga menukar konsol Nintendo Switch dengan satu paket mie instan dan dua bakpao.
“Khalayak saling menukar barang-barang di gedung yang sama, karena mereka tak lagi punya cukup makanan untuk disantap,” kata seorang warga bermarga Wang kepada Radio Free Asia.
Media tersebut juga melaporkan seorang pria hendak menukar ponsel pintar dan gawai tab miliknya dengan nasi.
Pengguna Weibo lainnya mengatakan mereka telah “kembali ke masyarakat primitif”.
Namun, di sisi lain, ada beberapa pengguna Weibo yang bersikap optimistis. Mereka mengaku sangat “tersentuh” oleh kebaikan tetangga yang mau menukar sembako.
Warga kehabisan stok makanan
Oleh karena itu, warga tidak diperbolehkan keluar rumah untuk membeli makanan, kecuali dengan alasan tertentu. Para pegawai negeri pun dikerahkan untuk mendistribusikan bantuan.
Namun, banyak di antara warga bersuara di media sosial. Mereka mengaku sudah kehabisan barang-barang pokok.
Baru-baru ini terjadi sebuah insiden di kompleks permukiman Mingde 8 Yingli, sebelah selatan Kota Xi’an.
Sesaat setelah tengah malam pada 1 Januari, mereka diperintahkan meninggalkan rumah dan menuju fasilitas karantina.
Pada Selasa (04/01), pemerintah China menempatkan Kota Yuzhou sejauh 500km dari Xi’an dalam status karantina ketat alias lockdown.
Sebanyak 1,1 juta penduduk Yuzhou kini harus tetap berada di rumah.
Pada Senin (03/01) malam, hampir semua kendaraan dilarang melaju di jalan, dan semua toko kecuali supermarket diperintahkan untuk tutup.
Akan tetapi, lockdown diperketat pada Senin (27/12), sehingga semua warga tidak diperkenankan ke luar rumah kecuali untuk menjalani tes COVID.
Sejak saat itu, banyak penduduk berkeluh kesah serta meminta bantuan makanan di platform Weibo. Mereka mengklaim belum menerima paket bantuan gratis dari pemerintah.
“Saya dengar distrik lain menerima bantuan secara bertahap, tapi saya tidak menerima apapun. Kompleks kami melarang warga ke luar rumah. Saya memesan sembako secara daring empat hari lalu, tapi tidak ada tanda-tanda paket itu datang. Saya tidak mendapat sayur apapun selama berhari-hari,” sebut seorang pengguna media sosial Weibo.
Warganet lainnya berkata: “Pembagian sembako tidak rata. Distrik tempat saya berada belum dapat apa-apa. Kami diminta berkelompok dan memesan bersama. Harganya juga sangat mahal.”
Sebuah video yang dibuat pekan ini dan telah beredar di dunia maya memperlihatkan penduduk di salah satu wilayah permukiman Kota Xi’an berdebat dengan polisi soal kekurangan makanan.
Supir pengantar paket sembako juga kurang banyak karena mereka pun menjalani karantina wilayah.
Pada Rabu (29/12), pemerintah kota mengaku bahwa “kurangnya staf, kesulitan logistik serta distribusi” menimbulkan masalah pengantaran sembako ke warga.
Namun, pada Kamis (30/12), menteri perdagangan China menegaskan kepada wartawan bahwa penduduk Xi’an punya akses sembako “memadai”, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP.
Stasiun-stasiun televisi milik pemerintah juga menayangkan liputan para petugas dengan APD memilah sembako, seperti telur, daging, dan sayuran ke dalam plastik untuk kemudian diantarkan dari pintu ke pintu.
“Kami dapat paket sembako gratis dari pemerintah. Sebenarnya cukup banyak. Cukup dimakan selama tiga hari atau empat hari untuk sebuah keluarga,” sebut seorang penerima paket sembako di Weibo.
Wabah terkini menyebabkan banyak orang yang meragukan kemampuan China dalam mempertahankan pendekatan nol kasus COVID menjelang Olimpiade Musim Dingin 2022 pada Februari.
China telah menyebut COVID sebagai “ancaman terbesar” dalam menyelenggarakan pesta olahraga tersebut.