Lika-liku Hidup Ciputra, Konglomerat yang Cuma Punya Sepasang Sepatu

0
Foto: Ilustrator: Edi Wahyono
Jakarta – Ciputra bukanlah nama yang asing lagi. Pria kelahiran, Parigi Sulawesi Tengah 24 Agustus 1931 itu dikenal sebagai pengusaha properti kelas kakap dengan harta triliunan rupiah. Sejumlah perusahaannya yang bergerak di bidang properti antara lain: Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group.

Namanya masuk sebagai salah satu orang terkaya di dunia. Dikutip dari Forbes, Jumat (4/2/2022), keluarga Ciputra tercatat memiliki kekayaan bersih US$ 1,65 miliar atau setara dengan Rp 18,2 triliun (kurs Rp 14.000). Ia berada di urutan 26 daftar orang terkaya di Indonesia pada tahun 2021.

Forbes mencatat, Ciputra mendirikan perusahaannya Ciputra Group pada tiga dekade yang lalu. Perusahaannya melakukan pengembangan di 33 kota di Indonesia. Siapa sangka, modal awal Ciputra mendirikan perusahaan hanya sebesar Rp 10 juta.

Dikutip dari Buku Properti Moderat, Modal Dengkul dan Urat karya Benny Lo, Ciputra merintis bisnis sejak masih kuliah di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Pada 1957. Ketika itu dia bersama 2 teman kuliahnya yakni: Budi Brasali dan Ismail Sofyan mendirikan biro arsitektur dengan bendera PT. Daya Cipta.

Biro arsitektur milik Ciputra dan dua rekannya banyak mendapat proyek. Tahun 1960, Ciputra lulus ITB dan pindah ke Jakarta.

“Kita harus ke Jakarta karena di sana banyak pekerjaan,” kata Ciputra seperti dikutip dari buku Properti Moderat, Modal Dengkul dan Urat karya Benny Lo.

Benar saja, di Jakarta kiprah bisnis Ciputra kian moncer. Hingga akhirnya pada tahun 1961 dia mendirikan Grup Jaya dengan modal Rp 10 juta. Perusahaannya pun kian berkibar. Melalui PT Ciputra Development, pengusaha dengan nama lain Tjie Tjin Hoan itu sukses membawa perusahaan lokal ke panggung bisnis global dengan nilai aset lebih dari Rp 30 triliun.

Namun, perjalanan bisnis Ciputra tak selamanya mulus. Pada 23 Juli 1996 setelah 30 tahun memegang kemudi perusahaan, Ciputra mundur dari PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang dia dirikan pada 1961. Baru setahun pensiun, badai datang menghantam Pembangunan Jaya dan perusahaan-perusahaan lain milik Ciputra yang bernaung di bawah grup Metropolitan Development maupun grup Ciputra.

Padahal sebelumnya Grup Jaya banyak mengerjakan proyek-proyek besar. Sebagian proyek itu dikerjakan dengan modal pinjaman dalam bentuk mata uang dolar ke bank asing. Waktu itu Ciputra optimistis bisa mengembalikan semua pinjaman.

Perhitungan dan keyakinan Ciputra meleset. Memasuki tahun 1998 kekuatan rupiah cepat sekali lunglai di depan dolar Amerika Serikat. Dari semula nilai satu dolar hanya berkisar Rp 2.000, kemudian naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai tukar dolar sudah melompat lebih dari lima kali lipat. Utang Grup Jaya pun menggelembung sangat besar hingga mencapai hampir US$ 100 juta.

“Kami sama sekali tak menduga,” kata Ciputra dikutip dalam biografinya, The Passion of My Life, yang dia luncurkan akhir November 2017 silam.

Saat krisis ekonomi tahun 1998, Edmund Sutisna, kala itu Direktur Pembangunan Jaya, menuturkan, Ciputra berbagi tugas dengan manajemen Pembangunan Jaya dan Metropolitan. Penyelesaian masalah di Pembangunan Jaya diserahkan kepada direksi, demikian pula di Metropolitan.

“Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau,” kata Edmund kepada detikcom, beberapa waktu lalu.

Perlahan-lahan tiga kelompok usaha Ciputra: Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan Grup Ciputra keluar dari krisis. Untuk menutup utang, Ciputra melepas saham di sejumlah perusahaan, di antaranya di Bumi Serpong Damai (BSD). Beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra terpaksa ditutup untuk selamanya.

Ciputra pun berhasil bangkit dan lolos dari kebangkrutan. Saat ini generasi ketiga keluarga Ciputra sudah siap bergabung dalam menejemen Ciputra Grup. Cipta Ciputra Harun yang merupakan generasi ketiga keluarga Ciputra mengatakan, meski berlimpah harta kakeknya adalah sosok yang sederhana.

Menurut Cipta kakeknya hanya menggunakan sepasang sepatu untuk berpergian ke mana-mana. “Dia nggak pernah mikirin sepatunya apa, bajunya apa. Sepatu dia cuma satu, New Balance warna hitam, entah tahun berapa belinya. Nggak ganti-ganti,” kata Cipta kepada detikcom beberapa waktu lalu.

(fdl/fdl/detik)