Mahfud Anggap KPK Era Firli Produktif, Tangkap 2 Menteri Jadi Buktinya

0
Foto: Menko Polhukam Mahfud Md (dok. Kemenko Polhukam)
Jakarta – Menko Polhukam Mahfud Md membandingkan kinerja KPK era Firli Bahuri cs dengan KPK periode sebelumnya. Mahfud menilai KPK di bawah kepemimpinan Firli produktif dengan bukti penangkapan terhadap dua orang menteri.

“Kalau berbicara KPK dalam arti produktivitas kerja ya kita bisa berdebat, KPK bisa berdebat, karena KPK yang sekarang ini menghasilkan prestasi juga yang tidak kalah, malah mungkin yang lebih baik,” kata Mahfud dalam dialog virtual bersama Didik Junaidi Rachbini melalui live Twitter, Rabu (29/9/2021).

Hal itu disampaikan Mahfud saat menjawab pertanyaan Didik mengenai situasi KPK saat ini. Mahfud menjadikan penangkapan terhadap mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo, mantan Mensos Juliari Batubara hingga Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah sebagai bukti produktivitas KPK.

“Pada tahun pertama KPK yang sekarang itu sudah berhasil menangkap dua menteri aktif dan Presiden biarkan, tangkap saja kalau salah. Gubernur ditangkap, Bupati ditangkap, DPRD ditangkap semua ini, yang kalau dijumlah pada tahun pertama KPK yang dulu dan tahun pertama KPK yang sekarang itu jauh lebih banyak yang sekarang daya tangkapnya,” tutur Mahfud.

Mahfud juga memaparkan jumlah uang negara yang diselamatkan di era Firli dari potensi korupsi. Mahfud mengatakan potensi korupsi di Indonesia terjadi di mana-mana.

“Uang yang sekarang diselamatkan dari potensi korupsi itu Rp 582 triliun, artinya kalau mau bicara jumlah, karena gini loh, di Indonesia ini korupsinya terjadi di mana-mana, sehingga siapa pun, jadi KPK kalau mau bisa nangkap di mana aja. Kalau ndak berani nangkap di kantor A, tangkap di kantor B, pasti banyak kok, itulah yang ditunjukkan oleh KPK sekarang, tangkap aja kalau cuma mau jumlah nangkap orang, kan begitu,” tutur Mahfud.

“Oleh sebab itu ini kadang kala persoalan selera, persoalan politik dan sebagainya. Tapi mari kita perbaiki bersama-sama,” lanjutnya.

Mahfud Bicara UU KPK Baru

Mahfud kemudian menjawab pertanyaan mengenai dampak revisi Undang-Undang KPK terhadap kinerja KPK. Sebelum menjawab, Mahfud bercerita sejak dirinya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi banyak pihak yang ingin KPK dibubarkan.

“Waktu saya menjadi ketua MK 12 kali saya membuat putusan yang melindungi KPK karena digugat agar dibubarkan, KPK tidak boleh menggunakan pasal ini di UU itu, saya tolak, sampai 12 kali untuk membela KPK, artinya kita semua cinta pada KPK,” kata Mahfud.

Mahfud kemudian menjelaskan mengenai revisi undang-undang KPK yang disahkan pada 2019. Mahfud mengatakan revisi UU merupakan hak DPR bersama Presiden.

“Nah kemudian yang perubahan terakhir itu ya Presiden setuju perubahan itu kan itu haknya Presiden ya, karena yang menurut Undang-Undang Dasar ya undang-undang itu kan dibuat atau diubah oleh Presiden bersama DPR,” katanya.

Alasan Jokowi Tak Keluarkan Perppu

Mahfud juga mengungkap alasan Jokowi enggan mengeluarkan Perppu KPK. Dia mengatakan Jokowi tak membuat Perppu meski didesak berbagai pihak.

“Masih ingat kan Presiden mengundang 22 tokoh, saya ada di situ, minta kepada Presiden agar dikeluarkan Perppu agar kembali ke UU (KPK) yang lama. Ramai pada saat itu, DPR sendiri kalau Presiden mengeluarkan Perppu, kami tolak, kalau Perppu ditolak kan nggak berlaku Perppu itu,” katanya.

Mahfud mengatakan Jokowi tidak mengeluarkan Perppu karena DPR mengancam akan membatalkan Perppu itu. Ancaman itu, kata Mahfud, bisa dikonfirmasi kepada anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani.

“Gini deh, taroknya KPK lama itu habis masa tugasnya 19 Desember, misalnya Presiden mengeluarkan Perppu pada bulan September dengan berpedoman pada yang lama. Tiba-tiba Perppu ini pada bulan Oktober dibatalkan oleh DPR kan kalau kita sudah memproyeksikan kerja yang baru sementara DPR menolak dengan cara-cara kerja yang baru berdasarkan Perppu itu,” kata dia.

“Itulah sebabnya lalu Perppu itu tidak dikeluarkan karena sudah diancam akan ditolak oleh DPR. Saya kira konfirmasi ini diberikan oleh Pak Arsul Sani yang sekarang Wakil Ketua MPR, itu katanya memang kami yang dulu menolak Perppu katanya, ketika Presiden konsultasi mau mengeluarkan kami ancam kalau dikeluarkan kami tolak, dan kalau ditolak sebuah Perppu yang sudah terlanjur berjalan itu kan kacau, jadi itu persoalan tarik menarik politik saja,” jelasnya.

Apakah perubahan UU KPK ini menjamin kemandirian KPK? Mahfud pun memberikan penjelasan.

“Kalau UU-nya masih sama ya bahwa dia lembaga mandiri, independen bukan bagian dari pemerintah. Tapi bahwa kemudian orang-orangnya lahir dari kompromi politik, yang milih kan DPR tuh, sejak dulu sih, mulai dari yang pertama,” sebut Mahfud.

Mahfud Bicara Pimpinan KPK dan Kompromi Politik

Lebih lanjut, Mahfud menyinggung kompromi politik saat pemilihan pimpinan KPK. Kompromi politik itu, kata Mahfud, sudah terjadi sejak pertama kali KPK didirikan.

“Pertama kali KPK itu kan berdiri tahun 2003, siapa yang kita calonkan pada waktu itu, yang dicalonkan oleh rakyat pada waktu itu Marsillam Simanjuntak yang muncul di koran, tapi kan DPR tidak memilih dia. Milih Taufiequrachman ya kan. Kemudian yang kedua munculnya nama Antasari Azhar itu yang dicalonkan oleh publik pada waktu itu Marwan Effendy, tapi yang terpilih Antasari Azhar oleh DPR, selalu terjadi seperti itu, kompromi-kompromi politik,” kata dia.

Mahfud mengatakan kompromi politik itu terjadi adalah efek dari demokrasi. Mahfud mengatakan terkadang hal yang baik menurut rakyat belum tentu baik bagi DPR.

“Nah itulah akibat demokrasi, kadang kala yang baik menurut kita ternyata DPR menanggap bukan itu yang baik, yang jelek menurut kita, oh ini yang baik kata DPR. Pers beda lagi. Saya katakan kalau ingin memperbaiki kita kembali aja ingin tertib kayak dulu kembali ke zaman Pak Harto aja, kekuasaan ada di satu tangan ndak ada yang berani melawan Pak Harto kan dulu,” sebut Mahfud.

“Pak Harto berbatuk, Pak Didik saya semua ikut berbatuk dulu, kalau sekarang endak, Presiden batuk kita tidur, kita nyingkir. Kalau zaman Pak Harto jangan gitu, Pak Harto kepedasan makan lombok, yang lain cari lombok agar kepedasan semua agar kelihatan dukung Pak Harto, kan begitu dulu. Sekarang ndak bisa begitu, ini demokrasi pilihan kita, akhirnya apa, siapa yang paling kuat membangun opini, bahkan dalam praktiknya siapa yang paling kuat menyediakan uang dia yang menentukan kan itu yang sekarang, sebagai efek,” sambungnya.

(lir/haf/detik)