“Kalau berbicara KPK dalam arti produktivitas kerja ya kita bisa berdebat, KPK bisa berdebat, karena KPK yang sekarang ini menghasilkan prestasi juga yang tidak kalah, malah mungkin yang lebih baik,” kata Mahfud dalam dialog virtual bersama Didik Junaidi Rachbini melalui live Twitter, Rabu (29/9/2021).
Hal itu disampaikan Mahfud saat menjawab pertanyaan Didik mengenai situasi KPK saat ini. Mahfud menjadikan penangkapan terhadap mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo, mantan Mensos Juliari Batubara hingga Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah sebagai bukti produktivitas KPK.
“Uang yang sekarang diselamatkan dari potensi korupsi itu Rp 582 triliun, artinya kalau mau bicara jumlah, karena gini loh, di Indonesia ini korupsinya terjadi di mana-mana, sehingga siapa pun, jadi KPK kalau mau bisa nangkap di mana aja. Kalau ndak berani nangkap di kantor A, tangkap di kantor B, pasti banyak kok, itulah yang ditunjukkan oleh KPK sekarang, tangkap aja kalau cuma mau jumlah nangkap orang, kan begitu,” tutur Mahfud.
“Oleh sebab itu ini kadang kala persoalan selera, persoalan politik dan sebagainya. Tapi mari kita perbaiki bersama-sama,” lanjutnya.
Mahfud kemudian menjawab pertanyaan mengenai dampak revisi Undang-Undang KPK terhadap kinerja KPK. Sebelum menjawab, Mahfud bercerita sejak dirinya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi banyak pihak yang ingin KPK dibubarkan.
“Waktu saya menjadi ketua MK 12 kali saya membuat putusan yang melindungi KPK karena digugat agar dibubarkan, KPK tidak boleh menggunakan pasal ini di UU itu, saya tolak, sampai 12 kali untuk membela KPK, artinya kita semua cinta pada KPK,” kata Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan mengenai revisi undang-undang KPK yang disahkan pada 2019. Mahfud mengatakan revisi UU merupakan hak DPR bersama Presiden.
“Nah kemudian yang perubahan terakhir itu ya Presiden setuju perubahan itu kan itu haknya Presiden ya, karena yang menurut Undang-Undang Dasar ya undang-undang itu kan dibuat atau diubah oleh Presiden bersama DPR,” katanya.
Mahfud juga mengungkap alasan Jokowi enggan mengeluarkan Perppu KPK. Dia mengatakan Jokowi tak membuat Perppu meski didesak berbagai pihak.
“Masih ingat kan Presiden mengundang 22 tokoh, saya ada di situ, minta kepada Presiden agar dikeluarkan Perppu agar kembali ke UU (KPK) yang lama. Ramai pada saat itu, DPR sendiri kalau Presiden mengeluarkan Perppu, kami tolak, kalau Perppu ditolak kan nggak berlaku Perppu itu,” katanya.
Apakah perubahan UU KPK ini menjamin kemandirian KPK? Mahfud pun memberikan penjelasan.
“Kalau UU-nya masih sama ya bahwa dia lembaga mandiri, independen bukan bagian dari pemerintah. Tapi bahwa kemudian orang-orangnya lahir dari kompromi politik, yang milih kan DPR tuh, sejak dulu sih, mulai dari yang pertama,” sebut Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menyinggung kompromi politik saat pemilihan pimpinan KPK. Kompromi politik itu, kata Mahfud, sudah terjadi sejak pertama kali KPK didirikan.
“Pertama kali KPK itu kan berdiri tahun 2003, siapa yang kita calonkan pada waktu itu, yang dicalonkan oleh rakyat pada waktu itu Marsillam Simanjuntak yang muncul di koran, tapi kan DPR tidak memilih dia. Milih Taufiequrachman ya kan. Kemudian yang kedua munculnya nama Antasari Azhar itu yang dicalonkan oleh publik pada waktu itu Marwan Effendy, tapi yang terpilih Antasari Azhar oleh DPR, selalu terjadi seperti itu, kompromi-kompromi politik,” kata dia.