Tembok pembatas di sepanjang perbatasan Gaza itu telah selesai dibangun. Pembatas yang disebut sebagai ‘tembok besi’ itu dilengkapi sensor bawah tanah, radar dan kamera untuk menangkal ancaman-ancaman.
Tembok ini merupakan bagian dari cara Israel mempertahankan blokade terhadap Gaza yang dilakukan sejak 2007. Saat itu, kelompok Hamas mengambil alih kekuasaan atas wilayah Gaza. Blokade Israel membatasi aliran barang dan orang yang keluar-masuk wilayah Gaza yang dihuni 2 juta jiwa.
Pembatas itu mencakup ‘pembatas bawah tanah dengan sensor’, pagar cerdas setinggi 6 meter, radar, kamera dan sistem pemantauan maritim. Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengatakan struktur pembatas itu ‘menempatkan tembok besi antara organisasi teror (Hamas-red) dan para penduduk (Israel bagian selatan)’.
Lebih dari 240 orang dilaporkan tewas di Gaza. Sementara, korban jiwa di pihak Israel berjumlah 12 orang dalam pertempuran selama 11 hari.
Gantz bersumpah ‘pembatas ini akan memberikan rasa aman kepada warga Israel’. Otoritas Israel menegaskan blokade Gaza diperlukan untuk menangkal ancaman Hamas.
Namun, para pengkritik menyalahkan blokade itu sebagai pemicu kondisi kemanusiaan mengerikan di wilayah tersebut. Selain di perbatasan Gaza, Israel juga membangun pembatas keamanan di sepanjang wilayahnya yang berhubungan dengan Tepi Barat yang mereka duduki sejak perang tahun 1967.
Kementerian Pertahanan Israel juga akan memperketat pengawasan ekspor teknologi siber. Pihak Israel khawatir tentang kemungkinan berkembangnya pelanggaran di luar negeri.
Dilansir dari DW, negara-negara yang membeli teknologi siber Israel harus berkomitmen menggunakan produk-produk itu ‘untuk penyelidikan dan pencegahan tindakan teroris dan kejahatan serius saja’.
Sebelumnya, Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan perangkat lunak NSO Group ‘menimbulkan kontra-intelijen dan risiko keamanan yang serius bagi personel AS’.
Hal ini terjadi setelah muncul laporan soal sembilan pejabat Departemen Luar Negeri AS menjadi sasaran penyerang tak dikenal menggunakan spyware canggih yang dikembangkan oleh NSO Group. Perusahaan itu mengatakan sedang menyelidiki klaim teknologinya digunakan untuk meretas telepon para pejabat di Uganda.
Pada bulan Juli, investigasi oleh jurnalis di seluruh dunia mengungkapkan spyware Pegasus buatan NSO telah digunakan untuk meretas telepon jurnalis, pejabat pemerintah dan aktivis hak asasi manusia di beberapa negara.
Laporan tersebut mendorong Israel meninjau kebijakan ekspor teknologi sibernya yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan.
Pada akhir bulan November lalu, perusahaan teknologi Apple Inc menggugat NSO Group dan perusahaan induknya OSY Technologies atas dugaan pengawasan dan penargetan pengguna Apple dengan spyware Pegasus miliknya.
“Aktor yang disponsori negara seperti NSO Group menghabiskan jutaan dolar untuk teknologi pengawasan canggih tanpa akuntabilitas yang efektif. Itu perlu diubah,” kata wakil presiden senior rekayasa perangkat lunak Apple, Craig Federighi.
Lebih lanjut, Kementerian Pertahanan Israel mengatakan penggunaan teknologi siber untuk hal-hal semacam itu akan dilarang di masa depan.
“Definisi kejahatan berat dan aksi teroris telah dipertajam untuk mencegah kaburnya batas-batas dalam konteks ini,” kata kementerian itu.
Ini termasuk menargetkan orang untuk afiliasi politik atau aplikasi yang melanggar undang-undang privasi suatu negara.