Terkait hal tersebut, Ida menegaskan perlu ada kepedulian bersama demi mewujudkan kenyamanan bekerja melalui pencegahan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Menurutnya, ancaman kekerasan dapat menurunkan kinerja dan produktivitas, sehingga berdampak pada kelangsungan usaha dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
“Seraya menunggu waktu pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang, kami telah menyiapkan Keputusan Menaker (Kepmenaker) untuk memberikan pelindungan bagi kekerasan seksual di tempat kerja, baik bagi perempuan maupun laki-laki,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/3/2022).
Ia menilai apabila DPR menyegerakan pembahasan RUU TPKS, maka Kepmenaker akan mengacu pada UU TPKS tersebut.
Ida menambahkan kendati protokoler pelindungan pekerja di tempat kerja sudah mendesak, keterbukaan informasi publik saat ini memberikan harapan adanya pengurangan atau menurunnya kekerasan di tempat kerja.
“Orang sekarang semakin takut dengan ancaman sosial. Media sosial yang sangat terbuka, sangat membantu penurunan kekerasan di tempat kerja,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ida menyebut salah satu faktor penghambat perempuan di dunia kerja adalah masih adanya gender shaming alias stereotip dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Perilaku ini menyebabkan perempuan seringkali diremehkan di tempat kerja, dianggap sebagai penghambat, dan memiliki produktivitas lebih rendah.
“Hal ini kontraproduktif dengan tujuan kita semua untuk terus meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia kerja agar bisa memberikan dampak positif pada perekonomian dari level individu, keluarga hingga negara,” pungkasnya.
(akn/ega/detik)