Medan -Panggilan ‘ucok‘ untuk laki-laki dan ‘butet‘ untuk perempuan sudah sering didengar masyarakat Indonesia. Sebenarnya, bagaimana awal mula munculnya panggilan ‘ucok’ dan ‘butet’ tersebut?
Sejarawan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara (Sumut) Hendri Dalimunthe mengatakan panggilan ‘ucok’ untuk laki-laki ini bukan hanya ada di suku Batak. Ada sejumlah suku di Sumut yang menggunakan kata ‘ucok’ untuk memanggil laki-laki.
“Ucok juga berlaku ke (suku) Mandailing, Karo, Simalungun, Angkola. Panggilan ‘ucok’ ini universal di kalangan masyarakat Sumut. Bisa di mana saja. Ada orang dari kelompok masyarakat di luar dari suku Mandailing bisa dipanggil ‘ucok’,” ucap Hendri kepada wartawan, Sabtu (4/9/2021).
Selain ucok, kata Hendri, ada sejumlah penyebutan lainnya untuk laki-laki di Sumut. Salah satunya adalah ‘dikot’, yang bermakna sama dengan ucok.
“Ucok, tongat di Karo, torkis di Mandailing, dikot di Angkola. Sama semuanya itu,” tuturnya
Sejumlah panggilan juga diberlakukan untuk perempuan di Sumut. Selain butet, ada sebutan taing untuk sebagai nama panggilan seorang perempuan.
“Butet, taing di Mandailing ya sama juga. Kalau ditafsirkan begini-begitu, pasti suku-suku lain punya tafsirnya sendiri,” kata Hendri.
Hendri mengatakan tidak ada catatan pasti sejak kapan kata ‘ucok’ dan ‘butet’ ini mulai diidentikkan untuk memanggil laki-laki dan perempuan. Dia mengatakan referensi terkait hal sangat sedikit.
Hendri mengatakan panggilan ini biasanya dilakukan oleh orang tua ke anaknya. Panggilan untuk orang ke orang yang tidak saling kenal juga sering menggunakan kata ‘ucok’ dan ‘butet’.
“Sisi antropologis membangun hubungan emosional bisa antara orang tua dan anak. Bisa juga antara orang ke orang yang tak saling kenal,” jelasnya.
(jbr/jbr/detik)