Seperti dilansir AFP, Selasa (22/8/2023), Jepang menegaskan bahwa pelepasan air limbah, yang jumlah airnya mencapai lebih dari 500 kolam renang level Olimpiade, secara bertahap itu merupakan tindakan yang aman. Pandangan itu didukung oleh badan pengawas atom PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
“Kami akan meminta TEPCO untuk segera mempersiapkan dimulainya pembuangan ke laut berdasarkan rencana yang disetujui oleh Otoritas Regulasi Nuklir, dengan pelepasan diperkirakan akan dimulai pada 24 Agustus jika cuaca dan kondisi lautan tidak menghalanginya,” ucap Kishida dalam pernyataannya.
TEPCO merupakan operator PLTN Fukushima yang hancur parah oleh gempa bumi besar dan tsunami dahsyat tahun 2011 lalu, yang menewaskan sedikitnya 18.000 orang. Kehancuran PLTN Fukushima itu tercatat sebagai salah satu bencana atom terburuk di dunia.
Sejak saat itu, TEPCO mengumpulkan 1,34 juta ton air yang sebelumnya digunakan untuk mendinginkan sisa-sisa reaktor yang masih mengandung radioaktif tinggi, bercampur dengan air tanah dan hujan yang merembes masuk.
TEPCO mengatakan bahwa air limbah itu telah diencerkan dan disaring untuk menghilangkan semua zat radioaktif di dalamnya, kecuali tritium yang kadarnya jauh di bawah level berbahaya.
Air limbah itu akan dibuang ke lautan dengan kecepatan maksimum mencapai 500.000 liter per hari di lepas pantai timur laut Jepang.
Namun pakar nuklir dari Universitas Adelaide, Tony Hooker, menepis tuduhan itu sebagai upaya ‘menebar ketakutan’.
“Tritium telah dilepaskan (oleh pembangkit listrik tenaga nuklir) selama beberapa dekade tanpa bukti adanya dampak merugikan terhadap lingkungan atau kesehatan,” tutur Hooker kepada AFP.
IAEA, pada Juli lalu, menyebut pelepasan air limbah PLTN Fukushima itu akan memiliki ‘dampak radiologis yang bisa diabaikan pada manusia dan lingkungan’.
China memprotes keras keputusan Jepang membuang limbah PLTN Fukushima ke lautan, dengan menuduh Tokyo memperlakukan lautan seperti ‘saluran pembuangan’. Dalam respons atas keputusan itu, Beijing melarang impor makanan dari 10 prefektur Jepang jauh sebelum pelepasan limbah dilakukan dan memberlakukan pemeriksaan radiasi secara ketat.
Hong Kong yang menjadi pasar penting bagi ekspor makanan laut Jepang, juga mengancam akan mengambil langkah-langkah pembatasan.
Sementara di Korea Selatan (Korsel), warganya meluapkan kekhawatiran atas langkah Jepang dengan menggelar unjuk rasa dan bahkan menimbun garam laut karena takut terkontaminasi. Namun pemerintah Presiden Yoon Suk Yeol, yang bertekad meningkatkan hubungan baik dengan Tokyo, menyatakan tidak keberatan dengan keputusan tersebut, meskipun sikap itu memicu risiko politik dalam negeri.
(nvc/ita/detik)