Dalam meta analisis yang diterbitkan di jurnal Neurology baru-baru ini menemukan bahwa paparan polusi udara dapat meningkatkan risiko seseorang terkena stroke dalam lima hari.
“Dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia tidak hanya berdampak pada paru-paru dan mata. Ini juga melibatkan otak dan sistem kardiovaskular,” kata Dr Ahmad Tubasi, peneliti fakultas kedokteran di Universitas Yordania, yang memimpin penelitian dikutip dari NBC News, Selasa (3/10/2023).
Dalam studi tersebut, Tubasi dan timnya melihat data dari 110 studi observasional dari Asia, Eropa, serta Amerika Utara dan Selatan. Studi tersebut mengamati kejadian stroke dan konsentrasi polutan umum, termasuk nitrogen dioksida, ozon, karbon monoksida, dan sulfur dioksida, yang ada di udara dalam lima hari setelah seseorang didiagnosa stroke.
Mereka juga mengamati paparan materi partikulat, partikel mikroskopis dari debu, kotoran, jelaga, atau asap yang dapat berbahaya jika terhirup. Partikulat dapat berukuran diameter kurang dari 1 mikron (disebut PM1) hingga 10 kali lipat ukurannya (PM10).
Meta-analisis tersebut mencakup lebih dari 18 juta kasus stroke iskemik, jenis stroke paling umum, yang disebabkan oleh bekuan darah yang berpindah ke otak.
Para peneliti menemukan bahwa risiko stroke hampir 30 persen lebih tinggi ketika orang terpapar nitrogen dioksida hingga lima hari sebelumnya. Untuk paparan karbon monoksida, risikonya 26 persen lebih tinggi; untuk sulfur dioksida, 15 persen lebih tinggi; dan untuk paparan ozon, 5 persen lebih tinggi.
Risiko kematian akibat stroke juga meningkat seiring dengan paparan polutan tertentu, demikian temuan meta-analisis. Paparan nitrogen dioksida dalam jangka pendek dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian akibat stroke sebesar 33 persen, dan sulfur dioksida, peningkatan risiko sebesar 60 persen.
Paparan terhadap peningkatan jumlah PM1 dikaitkan dengan risiko stroke 9 persen lebih besar, dan paparan terhadap peningkatan jumlah PM10 dikaitkan dengan risiko 14 persen lebih besar.
Menghirup partikel, terutama molekul yang lebih kecil, menyebabkan peradangan dan iritasi pada paru-paru, yang memicu respons kekebalan tubuh. Hal ini menciptakan efek berjenjang yang berdampak pada sistem kardiovaskular.
Ketika polusi udara memicu respons kekebalan, peradangan menyebar ke seluruh tubuh sebagai upaya melawan penyusup. Peradangan ini menyebabkan arteri dan vena menyempit, menciptakan jalur yang lebih sempit bagi darah, gumpalan darah, dan plak. Pada saat yang sama, tubuh meningkatkan produksi trombin, zat pembekuan dalam darah.
“Semakin lama seseorang terpapar polusi udara, dan semakin intens paparannya, maka semakin besar pula risikonya,” tandasnya.
(kna/naf/detik)