PENULIS : Daniyah Fitriyah Puteri, Ghita Apriani, Nur Qholifah MAP.
(Ketiga penulis merupakan Mahasiswi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya Semester VI)
PEMERINTAH akan menerapkan kelas standar untuk BPJS Kesehatan. Hal ini sesuai dengan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 tahun 2004 pasal 24 ayat (4) yang berisi, dalam hal peserta yang membutuhkan rawat inap di RS maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar.
Wacana pemerintah untuk memberlakukan BPJS Standar Satu Kelas merupakan rencana yang akan menghapus secara bertahap kelas 1, 2, dan 3 sehingga akan hanya ada kelas tunggal. Kesetaraan kelas pada BPJS adalah kondisi dimana setiap warga negara Indonesia memiliki kesamaan dalam mendapatkan kelas ketika mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.

Wancana ini telah disampaikan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2020 lalu. Dimana Penerapan kelas standar di bagi menjadi dua, yaitu kelas A yakni kelas untuk peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) dan Kelas B untuk peserta Non-PBI JKN.
Penerapan kelas standar di bagi menjadi dua, yaitu kelas A yakni kelas untuk peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) dan Kelas B untuk peserta Non-PBI JKN.
Perspektif PPK (Pemerintah)
DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) menyatakan bahwa kelas satu standar ini diberlakukan untuk mencapai ekuitas yang artinya seluruh lapisan masyarakat mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan kebutuhannya dengan adanya standarisasi. Kementrian kesehatan juga menyebutkan bahwa strategi ini dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran BPJS.
Adapun perbedaan antara kedua kelas tersebut. Di kelas A, minimal luas per tempat tidur adalah 7,2 m2 dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur peruangan (6 pasien). Sedangkan di kelas B luar per tempat tidur 10 m2 dengan jumlah maksimal 4 tempat tidru per ruangan.
Sejauh ini nominal pembayaran kelas standar belum diketahui. Isu terbaru menyatakan tarif premi standarisasi kelas ini sebesar 75.000 dan wacana penerapannya pada tahun 2022 selambat-lambatnya awal tahun 2023.
Timboel Siregar selaku Koordinator BPJS Watch menyatakan perlu adanya waktu yang panjang untuk merealisasikan pemerataan kelas, karena penerapan tiga golongan kepesertaan BPJS sudah terlanjur diterapkan. Sedangkan pemerintah sendiri menargetkan peralisasian kebijakan ini pada kuartal III tahun 2022 (Dilansir dari Alinea.id)
Banyak hal yang diperlukan untuk menerapkan pemerataan kelas BPJS Kesehatan. Besaran biaya premi, utilitas peserta, kesiapan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), ketersediaan ruang rawat, dan lainnya perlu dilakukan pengkajian dan pertimbangan lebih lanjut.
Namun hingga saat ini peralisasian pemerataan kelas masih banyak mengalami kendala. Seperti yang dikutip dari merdeka.com “KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) dibuat DJSN. Jadi BPJS selaku pelaksana penjaminan pembiayaan belum punya pedoman pelaksanaanya” Ujar Achmad Yurianti (Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan).
Perspektif Masyarakat
Bagi masyarakat, Tauhid Ahmad (Ekonom Indef), menilai rencana ini tentu akan memberatkan peserta dari masyarakat bawah. Sebab, penerapan dua kelas standar ini santer diisukan akan membuat iuran peserta non-JKN dipukul rata menjadi satu tarif di kisaran Rp50 ribu sampai Rp75 ribu per peserta.
Bila dibandingkan dengan besaran iuran berdasarkan kelas layanan saat ini, maka lebih tinggi dari iuran peserta kelas mandiri 3 sebesar Rp42 ribu per peserta. Namun, lebih rendah dari peserta kelas mandiri 1 sebesar Rp150 ribu dan kelas mandiri 2 Rp100 ribu per peserta.
“Minusnya, yang paling terasa adalah masyarakat kelas bawah atau sekarang kelas mandiri 3, yang pasti akan terasa di tahap awal pembayaran iurannya, karena bayaran (iuran) mereka naik. Kalau PBI tidak terasa karena bayarannya masih kecil dan ditanggung negara,” kata Tauhid, dilansir dari CNN Indonesia.
Dilansir dari laman CNBC Indonesia, dalam pelaksanaan kelas standar ini nantinya, pemerintah akan berbagi keuntungan atau sharing benefit dengan asuransi swasta. Pasalnya, peserta JKN memiliki pilihan untuk naik tingkat ke kelas private.
Tentu bagi masyarakat yang secara ekonomi pas-pasan tidak punya pilihan untuk naik bagi kelas private atau tak akan mampu untuk menjadi peserta asuransi swasta.
Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) yang saat ini masih disusun oleh Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) harus memperhitungkan dan mempertimbangkan masyarakat tidak mampu.
Penerapan BPJS Standar Satu Kelas adalah penghapusan kelas 1, 2 dan 3 menjadi hanya 1 kelas saja dan kelas PBI. Penerapan BPJS Standar Kelas satu ini masih menghadapi pro kontra. Pemerintah mewacanakan kebijakan ini untuk mencapai ekuitas bagi para peserta dan menyelesaikan permasalahan defisit. Namun, sebagian besar masyarakat khususnya peserta kelas 3 dan kelas bawah merasa keberatan karena penerapan wacana ini menaikkan harga premi.
Sumber:
•https://www.cnbcindonesia.com/news/20210919151317-4-277439/kelas-1-2-3-dihapus-kelas-standar-bpjs-iuran-rp-75000/2
•https://nasional.kompas.com/read/2021/12/14/15561201/bpjs-bakal-terapkan-kelas-standar-bagaimana-bila-peserta-mau-kelas-lebih?page=all
• Mubarok, Fadil. 2020. “Penyamaratan kelas BPJS Kesehatan butuh waktu”, https://www.alinea.id/nasional/penyamarataan-kelas-bpjs-kesehatan-butuh-waktu-b1ZOA9uXU, diakses pada 12 Maret 2022.
• Embu, Wilfirdus, dkk. 2021. “Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan”, https://www.merdeka.com/khas/penghapusan-kelas-bpjs-kesehatan.html, diakes pada 12 Maret 2022.
•https://www.cnbcindonesia.com/news/20210923112601-4-278541/bpjs-kesehatan-terapkan-kelas-standar-ini-tanggapan-rs
•https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210928064438-78-700255/kelas-standar-bpjs-dan-bayang-tambahan-beban-masyarakat-bawah
(rilis/opini)