Pengunjuk rasa yang marah menyerbu barikade. Mereka juga dituduh membakar sebuah bus pada Kamis malam (31/3). Pada Jumat (1/4) pagi, polisi menangkap 45 orang meskipun belum ada tuduhan yang dijatuhkan terhadap mereka.
Presiden Gotabhaya Rajapaksa menyalahkan peristiwa itu pada “elemen-elemen ekstremis”. Sri Lanka berada di tengah krisis devisa yang melumpuhkan perekonomiannya.
Awalnya aksi protes di luar rumah presiden dimulai dengan damai, tetapi para demostran mengungkapkan polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan juga memukuli orang-orang yang hadir. Sejumlah orang juga ditahan.
Para pengritik menyalahkan korupsi dan nepotisme sebagai alasan utama atas situasi yang dihadapi negara itu. Apalagi saudara-saudara lelaki dan keponakan presiden menempati beberapa kementerian utama.
Warga bertambah marah saat muncul sejumlah kabar bahwa presiden dan para menteri dikecualikan dari pemadaman listrik dan para anggota keluarga mereka masih saja pamer kekayaan.
Pemerintah selama ini menyatakan krisis terjadi akibat pandemi Covid-19 telah menghantam sektor pariwisata, salah satu sumber utama pendapatan Sri Lanka.
Selain itu, serangkaian serangan terhadap gereja-gereja pada Minggu Paskah 2019 lalu, yang menyebabkan penurunan tajam pada jumlah wisatawan, juga dituding sebagai penyebab lainnya. Namun, para ahli mengatakan krisis ini sudah terjadi sejak lama.
“Ini adalah ledakan, hasil akumulasi dari apa yang telah dibangun selama beberapa dekade, dan seperti biasa tidak ada yang bertanggung jawab atas hal itu. Tentu saja, pemerintah saat ini secara langsung bertanggung jawab terhadap salah urus krisis yang disengaja sejak mereka berkuasa pada 2019 karena ketidakmampuan, kesombongan, dan tentu saja korupsi,” kata Jayadeva Uyangoda, seorang ahli ilmu politik, kepada BBC.
Mantan Deputi Gubernur Bank Sentral WA Wijewardena mengatakan kepada BBC bahwa Sri Lanka membuat kesalahan mendasar karena tidak berintegrasi dengan ekonomi global setelah berakhirnya perang saudara pada 2009, yang sempat menunjukkan bahwa ekonominya tumbuh hampir 9%.
Dalam jangka yang lebih cepat, pemerintah yang membiarkan nilai tukar rupee Sri Lanka terdepresiasi juga berdampak besar pada cadangan devisanya.
Wijewardena menduga keadaan akan menjadi jauh lebih buruk, sebelum menjadi lebih baik, karena tidak ada aliran devisa yang berkelanjutan untuk negara yang sangat bergantung pada impor itu.
Sri Lanka tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli barang-barang penting seperti bahan bakar untuk menggerakkan kendaraan atau bahkan menghasilkan listrik.
Akibatnya, pengelola listrik negara itu memberlakukan pemadaman yang semakin lama. Pada Kamis, listrik dimatikan selama 13 jam. Beberapa hari mendatang, pemadaman listrik diprediksi akan berlangsung sampai 16 jam. Hal tersebut telah mengganggu kegiatan bisnis, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari bagi jutaan orang.
Antrean panjang dilaporkan terjadi di luar stasiun pengisian bahan bakar, sementara orang-orang juga harus mengantre berjam-jam di tengah cuaca panas untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok seperti tabung gas, meski kadang berakhir dengan tidak mendapatkan apapun.
Lima orang lanjut usia meninggal dunia setelah pingsan dalam antrean selama beberapa minggu terakhir. Kekurangan bahan makanan dan obat-obatan penting juga dilaporkan terjadi di seluruh negeri.