Pengusaha Protes Zona Larangan Jual Rokok, Singgung Kontribusi Cukai Rp 218 T!

0
Ilustrasi
Jakarta – Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyatakan keberatan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengatur produk-produk industri hasil tembakau (IHT). Aturan ini dikhawatirkan mengganggu sektor IHT yang turut berkontribusi bagi penerimaan negara.

Ketua Umum Gaprindo Benny Wachyudi mengatakan, salah satu pasal yang menjadi poin keberatan adalah aturan zonasi, yakni tempat penjual rokok tidak boleh kurang dari 200 meter dari lokasi pendidikan.

“Memang saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan pemerintah yang akan terkait juga dengan pasar modern dan pasar rakyat, khususnya beberapa pasal terkait dengan pemajangan, kemudian lokasi pasar tidak boleh lebih kecil dari 200 meter dengan sekolah, pendidikan,” katanya dalam Halal Bihalal & Press Conference APRINDO di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2024).

Di sisi lain, meskipun ada pengetatan namun pemerintah tetap memungut cukai dari produk rokok. Benny memaparkan, setoran cukai rokok untuk pemerintah pada tahun 2023 menyentuh angka Rp 218 triliun.

“Tapi rokoknya produk legal dan dilindungi undang-undang, dan kita dipungut cukai per tahun hampir 10-11% dari penerimaan negara. Tahun 2023 kalau tidak salah Rp 218 triliun. Cukai masih merupakan andalan penerimaan negara,” tuturnya.

Ia menambahkan ada 5 juta orang yang bekerja di sektor IHT. Benny lantas menyayangkan pihaknya tidak banyak dilibatkan dalam penyusunan RPP, padahal menurutnya asosiasi berhak berpartisipasi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey menyinggung besarnya kontribusi cukai rokok bagi penerimaan negara. Dengan angka nyaris Rp 220 triliun, jumlah tersebut hampir setengah proyek Ibu Kota Nusantara yang sebesar Rp 460 triliun.

“Satu, hampir Rp 220 triliun, setengahnya (pendanaan) IKN. Setengahnya IKN ini Rp 220 triliun, kontribusi ari cukai saja. Belum pajak, PPn 11%, belum PPH dari perusahaan,” imbuhnya.

Roy menyebut aturan zonasi 200 meter berpotensi jadi pasal karet yang multitafsir. Pasal tersebut dinilai akan menggerus sektor perdagangan rokok.

“Ada satu pasal dalam RPP kesehatan ini yang berkontribusi menggerus sektor perdagangan rokok. Salah satu ayat dari pasal menyampaikan pedagang rokok perlu diatur zonasi, di bawah 200 meter dari tempat pendidikan, ibadah, kemudian dari objek yang menurut pemerintah perlu di bawah 200 meter dan tidak boleh diperdagangkan,” sebut Roy.

Ia mempertanyakan metode penentuan 200 meter yang dimaksud dalam aturan tersebut, termasuk pihak yang berwenang menentukan. Jika poin ini disahkan maka akses penjualan rokok menjadi semakin sempit.

“Zonasi 200 meter ini jadi pasal karet. Karena bagaimana menentukan 200 meternya, pakai GPS? Kemudian siapa yang mau mengukur 200 meter? Apakah ada petugasnya? Kemudian bagaimana yang sekarang sudah berjualan, misalnya pasar rakyat yang berdekatan dengan tempat pendidikan, ibadah, apakah harus dipindahkan atau harus hilang perdagangannya?” pungkasnya.
(ily/das/detik)