Jakarta –
Di tengah persiapan olimpiade musim panas, Jepang dihebohkan dengan merebaknya varian ‘Eek’ atau mutasi virus Corona E484K. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyebut mutasi ini sudah ditemukan pada satu kasus.
Kepada detikcom, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio menjelaskan, mutasi E484K di Indonesia ini ditemukan pada salah satu pasien COVID-19 dengan infeksi varian B117 asal Inggris.
Mutasi E484K memang ditemukan pada sejumlah varian virus Corona, termasuk varian B117 dari Inggris, B1351 asal Afrika Selatan, dan P1 dari Brasil. Hingga kini pencarian mutasi-mutasi termasuk E484K atau varian Eek masih diupayakan di Indonesia.
Menurut Prof Amin, E484K berpotensi menyebabkan virus Corona menular dan menyebar lebih cepat. Bahkan ia khawatir, vaksin Corona yang ada tak mempan lagi alias berkurang efektivitasnya melawan mutasi Corona E484K.
Dikutip dari Reuters, 12 dari 36 kasus COVID-19 di Jepang mengandung mutasi E484K. Para pasien tersebut tidak memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri maupun kontak dengan orang yang habis bepergian dalam 2 bulan terakhir.
Penularan virus Corona dengan mutasi tertentu memang tidak selalu berasal dari kasus import, yakni datang dari luar negeri. Ketika virus dengan mutasi tersebut sudah bersirkulasi di suatu negara, maka transmisi atau penularan domestik sangat mungkin terjadi.
Pakar mikrobiologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan, tak tertutup kemungkinan penularan mutasi baru yang ditemukan di Jepang berasal dari kontak dengan pasien tanpa gejala COVID-19 atau orang tanpa gejala (OTG).
“Persentase penularan dari OTG lebih rendah dari yang bergejala, tapi tidak nol. Misalnya Mr X yang kontak dengan pasien dengan imunokompromi, si Mr X tertular, tapi OTG, lalu si X ketemu sama Y. Nah Y kan nggak pernah ketemu sama si pasien (tapi bisa terkena),” jelasnya saat dihubungi detikcom, Senin (5/4/2021).
Mengingat E484K disebut lebih mudah menular, Ahmad menegaskan, satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran mutasi baru ini adalah menjalankan protokol kesehatan dan 3T (testing, tracing, dan treatment).
“Mekanisme detil saja yang kita belum tahu persis. Mekanisme asalnya dan modus penularannya, maka penting T kedua dari 3 T yaitu contact tracing,” ujarnya.
(vyp/up/detik)