Laporan tersebut memuat lebih dari 80 kasus dugaan pelecehan seksual antara tahun 2018 dan 2020, yang di antaranya diduga dilakukan oleh 20 staf WHO.
Laporan penyelidikan ini merupakan respons atas hasil investigasi yang dilakukan oleh The New Humanitarian dan Thomson Reuters Foundation pada Oktober 2020 silam. Investigasi tersebut mengungkap bahwa setidaknya 30 perempuan menuduh para pria yang bekerja untuk WHO melakukan eksploitasi dan pelecehan seksual.
Merespons laporan penyelidikan ini, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pun meminta maaf.
Pelaku adalah warga Kongo dan warga asing
Identitas 83 tersangka pelaku pelecehan kini telah diketahui oleh otoritas PBB. Baik warga negara Kongo maupun warga asing dilaporkan terlibat.
Dalam 21 kasus, tim penyelidik secara pasti meyakini bahwa tersangka pelaku pelecehan adalah pegawai WHO yang ditugaskan dalam rangka penanganan wabah Ebola di negara itu.
Menurut laporan, mayoritas tersangka adalah staf asal Kongo yang dipekerjakan sementara. Mereka dituduh memanfaatkan wewenangnya untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa tim penyelidik mewawancarai puluhan perempuan yang mengaku ditawari pekerjaan sebagai imbalan seks. Tim penyelidik juga mewawancarai perempuan yang diduga menjadi korban pemerkosaan. Hasilnya, ada sembilan kasus yang ditemukan.
Kepada koresponden DW di Butembo, salah satu korban menceritakan kisahnya.
“Ada salah satu warga asing yang menyukai Anda. Jika Anda menyerahkan diri kepadanya, Anda akan segara mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.
“Awalnya saya bekerja sebagai ahli kebersihan di pusat perawatan Ebola. Sebulan kemudian, dia mengangkat saya menjadi administrator kamp,” tambahnya.
Tak ada dukungan untuk korban
Laporan setebal 35 halaman itu menyoroti bahwa “skala insiden eksploitasi dan pelecehan seksual yang terjadi dalam penanganan wabah Ebola ke-10, berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan yang dialami korban.”
Menurut laporan, para korban “tidak diberikan dukungan dan bantuan yang layak untuk melewati pengalaman yang merendahkan seperti itu.”
Laporan juga menemukan ada “kegagalan struktural yang jelas dan ketidaksiapan dalam mengelola risiko insiden eksploitasi dan pelecehan seksual.” Selain itu, tim penyelidik menggarisbawahi bahwa “ada persepsi di pihak korban bahwa staf lembaga punya impunitas.”
gtp/ha (AP, AFP)
(ita/ita/detik)