Dilaporkan wartawan BBC Ko Ko Aung, sistem perbankan juga berada di ambang kehancuran. Warga pun harus antre menerima makanan.
“Saya ikut antrean untuk menerima bubur dari kelompok penyantun. Saya menunggu lebih dari setengah jam tapi habis sebelum giliran saya,” kata salah seorang warga bernama Ma Wai seraya berlinang air mata.
“Saya pulang dengan tangan kosong. Saya merasa sangat iba dengan putri saya yang berusia empat tahun,” kata dia.
Ma Wai berhenti bekerja ketika kasus Covid meledak pada Juli lalu. Majikannya memintanya agar tidak bekerja karena pemerintah memerintahkan semua orang tinggal di rumah.
“Tidak lama berselang suami saya mencoba pergi bekerja. Saya menanak nasi buat makan siangnya, dari beras yang kami simpan untuk berjaga-jaga di masa-masa sulit,” ujarnya.
“Namun serombongan tentara menghentikannya dan menyuruhnya pulang, jadi dia bahkan tak bisa bekerja,” lanjutnya.
Ma Wai dan suaminya telah menganggur selama tujuh bulan. Kini keluarganya hanya mengandalkan bantuan makanan untuk menghidupi empat anaknya dan ibunya yang tinggal bersama mereka.
“Kadang-kadang, kami hanya makan sekali sehari,” katanya. “Kami belum pernah mengalami kesulitan seperti sekarang.”
Perkiraan Bank Dunia
Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi Myanmar akan menyusut sebesar 18% tahun fiskal ini. Selain itu tingkat kemiskinan kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2022.
Menurut World Food Program, harga beras di Myanmar meningkat lebih dari 18%. Sedangkan minyak nabati naik dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir.
Monywa, kota tempat Ma Wai berasal, merupakan basis utama perlawanan terhadap kekuasaan militer. Banyak warga bergabung dalam unjuk rasa massal menentang kudeta militer pada 1 Februari silam.
“Ketika itu, tentara melepaskan tembakan ke arah lokasi lingkungan kami. Beberapa tetangga saya tewas dan sebagian lagi terluka diterjang peluru,” katanya, mengenang.
Semenjak kudeta, puluhan ribu pegawai negeri seperti guru, pekerja kereta api hingga dokter dan perawat menolak bekerja untuk rezim.
Menurut Pemerintah Persatuan Nasional, yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan, lebih dari 410.000 pegawai pemerintah masih melakukan pemogokan.
Apa yang dilakukan gerakan itu dan sanksi publik lainnya terhadap bisnis yang dijalankan militer memiliki dampak luar biasa. Dampak itu pun diakui oleh junta.
Jenderal Soe Win, orang nomor dua di tampuk kekuasaan rezim militer, mengakui dalam sidang membahas anggaran bulan Agustus bahwa pemerintah menerima lebih sedikit pemasukan.
Di kantor listrik negara di kota Khayan, sekitar 60 km arah timur Yangon, satu-satunya karyawan dari 43 orang staf, yang terus datang, adalah seorang eks kapten militer. Sisa dari mereka melakukan mogok kerja.
Lima belas orang dari mereka masih bertahan untuk melawan. Tindakan kolektif mereka mengganggu kinerja rezim militer, namun ini menimbulkan biaya hidup yang tinggi.
“Saya saat ini tidak memiliki penghasilan, tetapi saya dan rekan-rekan bertekad tidak kembali bekerja untuk kepentingan militer,” kata Khin Kyi Thar.
“Gaji saya 150.000 Kyat (Rp1,1 juta) dan saya sudah kehilangan uang sebesar itu sejak April.
“Ada kelompok pendukung di kota kami yang membantu saya dengan uang secukupnya, tapi kemudian pemimpinnya harus kabur untuk menyelamatkan diri,” katanya.
Pemerintah Persatuan Nasional meluncurkan lotre online pada Agustus untuk mengumpulkan uang bagi pegawai negeri sipil yang mogok. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk meringankan penderitaan rakyat,
Pada Agustus lalu, NUG Facebook Kelompok oposisi, Pemerintah Persatuan Nasional, meluncurkan lotere online.
Kelompok itu mengatakan 70% dari keuntungan akan langsung diberikan kepada orang-orang yang terlibat pemogokan. Sedangkan 30% akan ditawarkan sebagai hadiah uang.
Warga pun berhenti membeli tiket lotre yang dikelola negara. Pada jam pertama penjualan 250.000 tiket seharga Kyat 2.000 (US$1,1) sudah terjual habis.
Rezim militer pun menanggapi aksi tersebut. Rezim militer melarang melarang lotre yang dikelola Pemerintah Persatuan Nasional. Sejumlah rekening bank dibekukan karena dicurigai bahwa pemiliknya membeli tiket lotre tersebut.
Perbankan di Ambang Kehancuran
Selain kelaparan, sistem perbankan Myanmar berada di ambang kehancuran. Sebab, setelah kudeta, masyarakat bergegas menarik tabungannya.
Menanggapi hal itu, bank pun membatasi berapa jumlah uang yang dapat diambil. Sejak Maret, bank sentral Myanmar membatasi penarikan tunai hingga 2 juta Kyat (Rp2,3 juta) seminggu dan 20 juta Kyat (Rp23,4 juta) bagi sebagian besar perusahaan.
Bank KBZ di Myanmar Plaza tempat tujuannya, buka pukul enam pagi dan mengeluarkan token untuk sejumlah pelanggan terbatas. Meskipun Anda salah satu yang beruntung mendapatkan token, tidak ada jaminan bahwa masih akan ada uang di mesin saat giliran Anda tiba.
“Hanya tiga dari sepuluh mesin yang bekerja pada satu waktu, dan bank tidak akan menambahnya lagi,” papar Ma Khine.
“Jika Anda tidak bisa menunggu, maka Anda harus membayar sogokan di pasar gelap,” tambahnya.
Ketika dia melakukan hal itu pada bulan lalu dia harus membayar komisi 12% demi menarik uangnya sendiri.
Sementara itu, bank-bank swasta membatasi jumlah uang yang dapat ditarik. Misalnya, Bank CB di wilayah Delta Irrawaddy, hanya mengizinkan para pelanggan untuk menarik hanya 500 ribu Kyat (Rp586.000) dalam dua pekan.
“Bisnis kecil-kecilan sangat terpukul karena batasan ini,” jelas Tun Tun, manajer cabang bank swasta yang dia namanya tidak disebutkan.
“Mereka tidak memiliki daftar perusahaan sehingga mereka tidak berhak menarik jumlah yang lebih besar yang sepuluh kali lebih banyak untuk individu,” katanya kepada BBC.
“Sangat sedikit orang yang menabung sekarang. Anda dapat menghitung jumlah penabung dalam seminggu dengan jari di satu tangan. Di sisi lain, ribuan pemegang rekening menarik uang setiap hari.”
Hal yang sama juga terjadi pada pengiriman uang. Pengiriman uang juga tergantung pada ketersediaan uang tunai di kantor cabang penerima.
“Kami harus menelepon cabang lain untuk memeriksa apakah mereka memiliki cukup uang untuk membayar transfer”, kata Tun Tun.
Mata Uang Kyat Myanmar Melemah
Mata uang Kyat Myanmar telah melemah terhadap dolar AS lebih dari 20% sejak kudeta pada Februari. Kehadiran masyarakat Yangon di konter pertukaran uang asing dilaporkan melemah lebih dari 40%.
Saat ini masyarakat lebih suka menyimpan uang mereka dalam dolar atau membeli emas. Harga emas mencatat rekor baru setiap bulan sejak Februari.
Jenderal Min Aung Hlaing berulang kali berbicara tentang niatnya untuk meningkatkan ekonomi. Salah satu ide besarnya adalah mendorong masyarakat menanam pisang.
Sang jenderal mendorong warganya agar menanam pisang Bluggoe perak dengan tujuan diekspor. Hal itu disampaikan dalam sidang dewan militer pada Juni lalu.
Pemimpin militer sebelumnya, Jenderal Than Shwe, juga mencoba proyek serupa. Di mana warga menanam jarak untuk menghasilkan minyak jarak, namun rencana itu berakhir dengan kegagalan.
Dibandingkan itu, menggenjot perkebunan pisang terdengar lebih realistis. Investor China telah berinvestasi di perkebunan pisang di Negara Bagian Kachin selama bertahun-tahun.
Akan tetapi, tidak mungkin memberi makan jutaan orang yang kesulitan untuk mendapatkan jatah makan berikutnya. Program Pangan Dunia telah mendukung orang-orang yang rentan di Yangon.
Program Pangan Dunia (World Food Program) telah menyediakan makanan bagi 800.000 orang yang hidup rentan di pinggiran Yangon. Hal itu dilakukan sejak Mei lalu.
Namun badan tersebut mengatakan membutuhkan setidaknya US$86 juta (Rp1,2 triliun lebih) untuk memberikan bantuan makanan selama enam bulan kepada 3,3 juta orang yang sekarang membutuhkannya.
Junta Myanmar pun merespons krisis itu. Juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, menyatakan bahwa bank sentral Myanmar gagal memenuhi permintaan lokal untuk dolar Amerika.
Mata uang Myanmar telah kehilangan lebih dari 60 persen nilainya sejak awal September lalu, yang membuat harga makanan dan bahan bakar melonjak naik di tengah perekonomian yang merosot sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
“Pemerintah tengah melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan situasi ini sebaik mungkin,” tegas Zaw dalam konferensi pers pada Kamis (30/9) lalu.
“Karena ini terjadi di bawah pemerintahan ini, maka pemerintahan saat ini harus bertanggung jawab,” imbuhnya.
(lir/lir/detik)