Ramai Tuntutan Cabut Aturan JHT Dicairkan di Usia 56 Tahun, Dinilai Tak Masuk Akal

0
Ilustrasi (Rachman Haryanto/detikcom)
Jakarta – Aturan terbaru terkait Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi sorotan publik karena baru bisa dicairkan setelah usia peserta BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai 56 tahun. Sejumlah tuntutan mencabut aturan JHT itu mengalir deras.

“Saya harus sampaikan bahwa saya juga sebetulnya terkejut juga dengan aturan yang baru dikeluarkan ini, karena dalam rapat-rapat sebelumnya dengan BPJS dan Kemnaker, ini belum pernah disebutkan rencana bahan Permenaker ini, ya kan. Sehingga dengan adanya perubahan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 memang menimbulkan adanya perubahan skema pembayaran JHT yang merupakan sebetulnya itu hak para pekerja,” kata Saleh saat dihubungi, Sabtu (12/2/2022).

Saleh menilai wajar ketika akhirnya muncul polemik dan pertanyaan di publik lantaran target yang tidak jelas dari perubahan aturan JHT itu. Dia menyebut ada ketidakjelasan terkait perubahan dari JHT ke Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan.

“Sekarang para pekerja memprotes kebijakan karena dianggap bahwa mereka nanti misalnya kehilangan pekerjaan lalu mereka tidak ada dana cukup mestinya mereka bisa ambil JHT, kan ada JKP, sejauh mana JKP itu mampu menggantikan fungsi JHT,” ucapnya.

“Ini jangan sampai begitu, apalagi uang yang diatur-atur tadi itu, yang penggunaan dan penyimpanan diatur pemerintah secara sepihak oleh pemerintah dan BPJS itu, itu kan uang mereka (pekerja), jadi seharusnya ini melibatkan mereka. Saya tidak tahu apakah ketika membuat aturan para pekerja diundang dan didengar masukannya atau tidak atau serikat pekerja gitu. Kalau tidak diundang, kasihan kan mereka, uangnya dipakai seperti itu, digunakan begitu dan belum ada penjelasan dan sudah keluar aturan. Ini sangat mencederai juga dari sistem yang sudah ada,” jelasnya.

Atas dasar itulah, Ketua Fraksi PAN DPR RI ini meminta agar pemerintah membuka ruang diskusi ke publik dengan melibatkan para pekerja. Jika nantinya ternyata terbukti merugikan, dia meminta agar pemerintah, dalam hal ini Kemnaker, mencabut permenaker tersebut.

PPP Juga Minta Cabut Aturan JHT

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PPP Anas Thahir menyoroti kebijakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tersebut. Ia meminta Ida dapat mencabut aturan tersebut.

“Melihat asas kebermanfaatan, logika Permen tentang JHT harus dibenerin. Sebab, untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat tidak harus nunggu hari tua,” kata Anas.

Lebih lanjut, Anas menyampaikan Permen ini juga dapat berdampak terhadap kondisi kehidupan para pekerja Indonesia yang kini sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi. Menurutnya, pemerintah hanya memprioritaskan pertimbangan aspek yuridis an-sich dalam penyusunan peraturan tersebut.

“Padahal sebelum menerbitkan peraturan seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif, baik dari aspek yuridis, sosiologis, filosofis maupun ekonomis. Dan harus benar-benar melihat kondisi faktual yang dihadapi para pekerja atau buruh,” kata Anas.

Anas juga menambahkan saat ini ketahanan ekonomi pekerja atau buruh di Indonesia rentan dan berada di bawah angka rata-rata. Bahkan, masih banyak pekerja yang gajinya di bawah UMR dan masih sulit untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan hidup sehari-hari.

Untuk itu, ia meminta pemerintah bisa lebih jernih melihat situasi. Terlebih kini banyak pekerja di Indonesia terdampak PHK akibat pandemi COVID-19.

“Meski pekerja/buruh banyak melakukan klaim JHT tidak perlu khawatir, pemerintah dengan cara apa pun pasti mampu membayar. Dan saya tetap berkeyakinan pemerintah tidak akan bangkrut hanya karena klaim JHT tinggi. Toh itu uang mereka sendiri,” katanya.

Komentar PKS

PKS menilai aturan yang termuat dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini mencederai rasa kemanusiaan. Aturan tersebut dirasa tidak masuk akal.

“Muatan permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi,” kata Wakil Ketua Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher.

Netty mengatakan ada beberapa pasal dalam permenaker baru tersebut yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi yang membuat pekerja ter-PHK. Dia lantas mempertanyakan bagaimana jika seorang pekerja di-PHK pada usia 41 tahun hingga harus menunggu 15 tahun.

“Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal,” ujar Netty.

Lebih lanjut, anggota Komisi IX DPR ini berbicara terkait PHK hingga mengundurkan diri oleh para pekerja bukan semata-mata karena keinginan pribadi. Menurutnya, keberadaan JHT untuk pekerja justru membantu di masa sulit ketika para pekerja mengambil pilihan untuk berganti pekerjaan ataupun di-PHK.

“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya? Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?” tandasnya.

Berkaca dari persoalan ini, Netty juga meminta pemerintah memperbaiki tata kelola komunikasi publiknya terkait penerapan aturan.

Komisi IX Minta Ditinjau Ulang

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Charles Honoris turut buka suara terkait aturan JHT. Ia menilai aturan baru ini memberatkan.

“Aturan baru bahwa klaim JHT hanya dapat diambil ketika peserta mencapai usia 56 tahun tentunya memberatkan pekerja yang terdampak. Kondisi pandemi COVID-19 telah membuat ekonomi rakyat semakin sulit. Hal ini juga dialami oleh pekerja. Banyak pekerja harus terkena PHK. Tidak sedikit juga harus mengundurkan diri secara terpaksa,” kata Charles.

Charles menilai terobosan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) belum cukup mengakomodir kebutuhan pekerja yang terdampak PHK. Terlebih, kata dia, nasib PKWT semakin tidak menentu akibat Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut.

“Sudah ada terobosan Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang diinisiasi pemerintah di masa pandemi ini ternyata belum cukup untuk mengakomodir kebutuhan pekerja terdampak. Ditambah lagi nasib PKWT terdampak yang semakin tidak menentu dengan terbitnya permenaker baru ini,” ucapnya.

Politisi PDIP ini pun meminta agar pemerintah dalam hal ini Kemenaker segera meninjau ulang Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Sebab, kata dia, JHT merupakan hak pekerja karena dikumpulkan dari potongan gaji para pekerja.

“Klaim JHT ini kan sebetulnya dikumpulkan dari potongan gaji pekerja dan juga dari perusahaan. Ini bukan dana APBN. Sehingga sudah seharusnya menjadi hak dari pekerja terdampak. Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus segera ditinjau ulang kembali. Pemerintah harus segera duduk bersama dengan stakeholders terkait dan mencari solusi yang juga bisa mengakomodir aspirasi pekerja,” ujarnya.

(isa/isa/detik)