Dari total tersebut juga, sebanyak 125 perkara dikabulkan atas alasan hamil dan melahirkan. Sisanya dikabulkan karena anak lebih memilih menikah karena sudah berpacaran daripada melanjutkan sekolah.
Sebagaimana diketahui, pernikahan dini bukanlah satu-satunya solusi. Hal ini karena pernikahan dini justru bisa menimbulkan perkara lain, termasuk masalah kesehatan.
Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (KemenPPPA), Rini Handayani, SE MM, membeberkan sejumlah risiko kesehatan yang bisa dialami oleh anak pernikahan dini dan hamil, antara lain:
-53 persen perkawinan di bawah 18 tahun mengidap mental disorder depresi.
-4.5 kali peluang terjadinya kehamilan risiko tinggi.
-2 kali risiko kematian saat melahirkan.
-2-5 kali berpeluang terkena preeklamsia.
-Kontraksi rahim tidak optimal.
-Risiko lahir prematur.
-Berpotensi tertular penyakit menular seksual (PMS)
-17,2 persen berpotensi terkena kanker serviks dan 30,9 persen kanker payudara.
-Risiko BBLR (bayi berat lahir rendah).
-30-40 persen peningkatan risiko stunting selama 2 tahun dan kegagalan untuk menyelesaikan sekolah menengah.
Selain dari sisi kesehatan, pernikahan dini juga berpotensi mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), perceraian, hingga belum memiliki kematangan psikologis.
Karenanya, penting untuk menerapkan edukasi seks kepada anak-anak demi mencegah risiko kehamilan dini.
“Sebenarnya edukasi yang lebih banyak bisa mengubah pikiran itu adalah terkait kesehatan. Bahwa kadang-kadang, kita menyampaikan minimal perkawinan 19 tahun itu dia kayaknya tidak masuk ke dalam pikiran keluarga,” ucap Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari, S H MSi saat ditemui di KemenPPPA, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023).
“Tapi kalau sudah anak yang akan dikawinkan yang masih 18 ke bawah berpotensi kanker rahim tinggi, itu dia mikir berapa kali. Jadi sekali lagi, memang alat edukasi yang bagus terkait kesehatan,” sambungnya lagi.
(suc/naf/detik)