Kisah ini diceritakan Ustaz Muksin Matheer yang kemudian diterjemahkan A.R. Shohibul Ulum dalam buku Ali bin Abi Thalib. Sholat khusyuk yang dimaksud ini adalah khusyuk yang sempurna dimulai dari niat hingga salam tanpa terganggu dengan apapun.
Cerita bermula saat Rasulullah SAW tengah duduk-duduk di teras Masjid Nabawi bersama para sahabat sembari menanti waktu sholat tiba. Di tengah hangatnya diskusi, datangnya seorang suku Badui dan hendak bertanya pada Rasulullah SAW.
Perkara yang ditanyakan oleh orang suku Badui tersebut adalah soal sholat yang tidak khusyuk karena mencampuradukkan ibadah dengan pikiran soal dunia. Kemudian dia pun bertanya pada Rasulullah SAW mengenai cara supaya sholat dengan khusyuk.
Pertanyaan orang Badui ini bisa jadi mewakili sebagian besar muslim lain yang berada jauh di ‘lingkaran’ Rasulullah SAW karena tinggal di pedalaman. Bukan dari kalangan sahabat Muhajirin maupun Anshar.
Belum sempat Rasulullah SAW menjawab pertanyaan tersebut, Ali bin Abi Thalib yang juga hadir di sana berkata dengan tegas, “Sholat yang seperti itu tidak akan diterima Allah, dan Allah tidak akan memandang sholat seperti itu,”
Mendengar itu, Rasulullah SAW pun kembali bertanya pada Ali. Pertanyaannya lebih kepada membuktikan perkataan yang disebutkan oleh Ali sebelumnya.
“Wahai Ali, apakah engkau mampu mengerjakan sholat 2 rakaat karena Allah semata tanpa terganggu dengan segala kesusahan, kesibukan, dan bisikan-bisikan yang melalaikan?”
“Aku mampu melakukannya, Ya Rasulullah,” jawab Ali dengan yakin.
Tentunya, Rasulullah SAW sudah yakin bahwa sahabat-sahabat terdekatnya dari kaum Muhajirin ataupun Anshar bisa melakukan sholat khusyuk karena Allah SWT semata. Mengingat, sehari-harinya mereka sudah melihat dan mengikuti contoh nyata dari beliau.
Meski demikian, Rasulullah SAW hendak memberikan pelajaran berharga bagi orang Badui tersebut. Sebab Islam adalah rahmatan lil ‘alamin dan tidak eksklusif bagi ‘lingkaran’ sekitar Rasulullah SAW saja.
Begitu mendengar kesanggupan Ali, Rasulullah SAW tidak meragukan sahabat lainnya bisa melakukan hal tersebut. Beliau pun menambahkan sedikit ‘gangguan.’
Sebelum Ali mengambil air wudhu untuk bersiap menunaikan sholat, Rasulullah SAW tersenyum padanya dan berkata, “Wahai Ali, jika engkau mampu melakukannya, aku akan memberimu surbanku kepadamu. Engkau bisa memilihnya, yang buatan Syam atau Yaman,”
Sebagaimana diketahui, kedua sorban tersebut dikenal memiliki kualitas terbaik. Kemudian Ali pun bangkit dan mengambil wudhu. Setelahnya ia segera melakukan sholat dua rakaat yang disanggupinya kepada Rasulullah SAW.
Semua yang hadir, termasuk orang Badui tersebut, hampir yakin bahwa Ali memperoleh hadiah dari Rasulullah SAW. Sesudah Ali sholat, Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai Abul Hasan dan Husain, bagaimana pendapatmu? Bisakah engkau mengerjakannya dengan khusyuk dan sempurna?”
“Demi kebenaranmu, ya Rasulullah SAW,” jawab Ali dengan murung.
“Sesungguhnya aku telah melakukan rakaat pertama tanpa sedikitpun diganggu oleh kesibukan, kesusahan, dan bisikan apapun. Tetapi, ketika berada pada rakaat kedua, aku teringat akan janji engkau dan aku membatin, ‘Seandainya Rasulullah SAW memberikan sorban Yaman itu, tentulah lebih baik daripada sorban Syam itu,'”
“Demi hakmu, ya Rasulullah,” katanya lagi. “Tidak seorang pun yang dapat mengerjakan sholat dua rakaat dengan benar-benar murni karena Allah semata, dan ingatannya selalu terfokus kepada Allah,”
Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab dengan penuh kelembutan, “Wahai Abu Thurab atau julukan Ali, sesungguhnya hal itu terjadi pula dengan yang lain. Sebab khusyuk itu diukur oleh sebatas kesempurnaan manusia. Terpenting, ketika pikiran terbawa pada urusan lain, cepat kembalikan pada sholatmu lagi,”
Rasulullah SAW menambahkan lagi, “Dalam mengerjakan sholat, memang hendaknya seakan-akan kita mampu melihat dan berbicara dengan Allah. Tetapi kalaupun tidak mampu, asalkan ingat bahwa Allah melihat kita, itu sudah memadai,”
Melalui kisah ini, Rasulullah SAW hendak menjelaskan pada umatnya bahwa meski sholat dengan khusyuk yang sempurna terkadang sulit dilakukan, hal yang utama adalah bagaimana seorang muslim berusaha untuk mencapai kekhusyukan tersebut. Setelahnya, muslim bisa memanjatkan permohonan ampun pada Allah SWT.
(rah/kri/detik)