Satu Lagi Sekolah di Australia Menutup Program Studi Bahasa Indonesia

0
Jakarta – Salah satu sekolah elit di Melbourne akan menghapus Bahasa Indonesia dari kurikulumnya, sekaligus mengakhiri salah satu sekolah yang sudah menawarkan program bahasa Indonesia terlama di Australia.

Sebagai salah satu sekolah swasta tertua di negara bagian Victoria yang didirikan pada tahun 1960-an, Scotch College Melbourne memiliki rekam jejak yang terpandang dalam pengajaran Bahasa Indonesia.

Para pengamat menyayangkan penghapusan program bahasa Indonesia di Scotch College dan menganggap langkah ini sebagai sebuah kemunduran untuk masa depan pengajaran Bahasa Indonesia di Australia.

Profesor Sharyn Davies, Direktur ‘Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre’, lembaga yang turut menjembatani hubungan pendidikan Australia-Indonesia, mengirimkan surat kepada kepala sekolah tersebut untuk mempertimbangkan kembali keputusan bersejarah ini.

“Meski jumlah siswa yang belajar Bahasa Indonesia menurun di seluruh Australia, Scotch College tetap menjadi pelopor di bidang ini,” tulisnya dalam surat terbuka yang diterbitkan bulan lalu.

“Penghapusan Bahasa Indonesia dari kurikulum akan sangat membatasi peluang alumni Scotch [College] saat masuk dunia pekerjaan yang berkembang pesat dan semakin didominasi Asia.”

ABC sudah berulang kali meminta tanggapan dari Scotch College, tapi tidak ada tanggapan.

Juru bicara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra mengatakan berakhirnya program studi Bahasa Indonesia di Scotch College “sangat disayangkan.”

“Alasan yang digunakan [mereka] adalah keterbatasan anggaran dan hanya program Bahasa Indonesia yang dihapus,” kata KBRI.

“Pemerintah Indonesia sangat prihatin dengan menurunnya studi Indonesia di Australia secara umum.”

Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berpotensi menjadi alternatif bagi Australia dan negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan perdagangan dengan China.

Kemitraan antara Indonesia dan Australia sudah tertuang dalam Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang ditandatangani awal tahun 2020, serta dianggap “bersejarah” oleh para pengusaha Australia saat itu.

Tapi investasi Australia di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Singapura, China, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese memilih Jakarta sebagai tempat kunjungan bilateral pertamanya ketika dilantik pada tahun 2022, yang menekankan pentingnya hubungan Australia dengan Indonesia.

Namun, pada saat sama, program studi tentang Indonesia di Indonesia terus menurun selama beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 1992, terdapat 22 universitas Australia yang mengajar Bahasa Indonesia. Namun jumlahnya menurun menjadi 12 universitas di tahun 2002.

“Titik puncak studi tentang Indonesia di Australia adalah pada pertengahan tahun 1990-an ketika [mantan Perdana Menteri Paul] Keating menginvestasikan dana yang signifikan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia,” tulis Sharyn dan beberapa pakar linguistik dalam artikel The Conversation tahun lalu.

Mereka mengatakan berkat intervensi pemerintahan di era pemerintahan Keating, jumlah pelajar Bahasa Indonesia di Victoria meningkat dua kali lipat dari 493 pada tahun 1995 menjadi 1.044 pada tahun 2001.

Kurangnya guru bahasa Indonesia

Madison Sok, siswi kelas 11 di ‘Our Lady of the Sacred Heart College Bentleigh’ di Melbourne.

“Kelas Bahasa Indonesia kami cukup erat,” kata Madison, saat sedang mengikuti kegiatan karyawisata di Yogyakarta.

“Saya rasa kehidupan sekolah akan lebih suram dan berbeda jika kami tidak belajar Bahasa Indonesia.”

Momo Guest, mahasiswa University of Melbourne yang belajar bahasa Indonesia dan Jepang, mengatakan mempelajari bahasa memberikannya wawasan yang lebih dalam tentang budaya negara tetangga Australia.

“Di kelas, kami belajar komunikasi lintas budaya, tata krama budaya, pemahaman kepentingan agama, dan banyak hal lain yang dapat diterapkan di dunia nyata,” ujarnya.

Para ahli mengatakan pemerintah Indonesia perlu mendukung studi Bahasa Indonesia seperti halnya pemerintah dari negara-negara seperti Italia, Korea Selatan, dan Jepang yang berinvestasi untuk mempromosikan studi bahasa mereka.

Pemerintah Prancis dan Jerman, misalnya, masing-masing mengelola ‘Institut Francais dan Goethe-Institut’ untuk mempromosikan bahasa dan budaya negara mereka di luar negeri.

KBRI Canberra mengatakan salah satu penyebab utama penurunan studi Bahasa Indonesia adalah kurangnya guru Bahasa Indonesia.

Mereka mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sudah berupaya “memberikan solusi” lewat program pengiriman guru bahasa dari Indonesia secara berkala untuk mengajar Bahasa Indonesia di Australia.

“Namun demikian, program ini masih belum bisa terlaksana dikarenakan antara lain permasalahan visa, izin tinggal, dan standar kompetensi,” demikian penjelasan KBRI.

Madison mengatakan ke mana ia akan melanjutkan studinya akan tergantung pada universitas mana yang menyediakan program bahasa Indonesia.

“Saya mencoret universitas yang tidak memiliki [program] Bahasa Indonesia,” katanya.

Juru bicara Monash University menekankan “pentingnya sekolah dasar dan menengah untuk mempersiapkan para siswa Australia dengan mengajarkan bahasa-bahasa negara Asia, termasuk Bahasa Indonesia”.

“Kami yakin pengajaran bahasa dan budaya Indonesia sangat penting untuk membantu Australia dalam perdagangan, diplomasi, dan keamanan dengan salah satu tetangga terdekat kami.”

(ita/detik)