Seperti dilansir AFP, Kamis (7/7/2022), pelaksanaan hukuman gantung itu tercatat sebagai eksekusi mati keempat yang dilakukan Singapura sejak Maret lalu.
Eksekusi mati terakhir dilakukan pada April lalu terhadap seorang terpidana mati kasus narkoba yang juga penyandang disabilitas mental. Eksekusi mati itu menuai kemarahan internasional, dengan Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) turut mengecamnya.
Singapura diketahui memiliki beberapa undang-undang antinarkoba paling tegas di dunia, dan bersikeras menyatakan bahwa hukuman mati tetap menjadi pencegah paling efektif terhadap perdagangan narkoba meskipun banyak tekanan untuk menghapusnya.
Dua terpidana yang dihukum gantung pada Kamis (7/7) waktu setempat terdiri atas Kalwant Singh yang berusia 31 tahun dan berasal dari Malaysia, dan Norasharee Gous (48) yang merupakan warga Singapura.
Dituturkan aktivis HAM terkemuka di Singapura, Kirsten Han, bahwa jenazah Kalwant telah dibawa pulang ke Malaysia oleh keluarganya pada Kamis (7/7) sore waktu setempat.
Namun panel tiga hakim menolak banding itu, dengan menegaskan bahwa para pejabat penegakan narkoba tidak menggunakan informasi yang diberikan Kalwant dalam menangkap tersangka utama itu.
Reaksi keras diberikan Amnesty International yang menyebut penggunaan hukuman mati oleh Singapura merupakan ‘pelanggaran HAM secara terang-terangan’.
“Kami mendesak otoritas Singapura untuk segera menghentikan gelombang hukuman gantung dan memberlakukan moratorium eksekusi mati sebagai langkah maju untuk mengakhiri hukuman memalukan dan tidak manusiawi ini,” tegas Emerlynne Gil dari Amnesty International.
Phil Robertson selaku Wakil Direktur Asia pada Human Rights Watch (HRW) menuduh Singapura telah melanggar norma-norma internasional soal HAM yang melarang hukuman ‘kejam’. Dia menyebut penggerebekan narkoba baru-baru ini menunjukkan ‘betapa hampanya klaim Singapura tentang efek ‘pencegah’ dari eksekusi kejam ini’.