Soal Gagasan ‘Naturalisasi’ Dokter Asing ala Timnas Bola, IDI Angkat Bicara

0
Jakarta – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) buka suara soal dokter asing yang disebut bakal membantu industri kesehatan Tanah Air, demi naik ‘kelas’ secara kualitas. Menurut PB IDI, kebijakan seperti ini juga lumrah terjadi di banyak negara lain.

Ketua Umum PB IDI dr Muhammad Adib Khumaidi mengatakan selama kebijakan tersebut berpihak kepada kepentingan ketahanan kesehatan masyarakat dan dapat menjawab permasalahan kesehatan, maka hal ini sah-sah saja dilakukan. Namun, Adib menekankan untuk membuat regulasi ketat sehingga dokter asing yang masuk haruslah benar-benar terbaik.

“Kepentingan ketahanan kesehatan, kepentingan Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi hal yang harus diutamakan. Tapi pada dasarnya di semua negara kita tidak bisa menghindari keniscayaan bahwa akan ada free flow tadi, dokter asing yang akan masuk antar negara,” ujar Adib dalam media briefing, Selasa (28/5/2024).

“Tapi semua negara juga mempunyai regulasi yang selektif, tidak dengan mudah juga gitu (masuk dokter asing), karena jangan sampai nanti masyarakat Indonesia hanya dijadikan market pelayanan saja,” sambungnya.

PB IDI menekankan dokter asing yang nantinya masuk ke Indonesia haruslah mereka-mereka yang telah terseleksi secara ketat, serta memiliki kemampuan di atas rata-rata dokter Indonesia. Menurutnya, hal ini akan menjadi jawaban atas keadilan di dalam pelayanan kesehatan serta persoalan gaji yang nantinya diterima dokter asing dan dokter Indonesia.

“Saat kita bicara nanti akan ada dokter asing, apalagi dia mempunyai kompetensi yang sama dengan yang sudah ada di Indonesia, dan tidak termasuk ke dalam kategori education and training, humanitarian purposes, expert visit, atau research with patient contact yang harus diperhatikan adalah keadilan dalam pelayanan kesehatan,” papar Adib.

“Jangan sampai yang satu diberikan gaji tinggi, yang warga negara Indonesia-nya gajinya rendah. Padahal dengan kompetensi yang sama, inilah konsep keadilan equity,” sambungnya.

Menurut Adib, terkait kompetensi dokter asing, harus benar-benar dilakukan pengecekan administrasi yang ketat. Dirinya mengambil contoh, Singapura hanya mau menerima dokter asing yang berasal dari lulusan universitas tertentu dengan kualitas terbaik.

Lalu, adanya rekomendasi atau jaminan dari medical council atau dari organisasi profesi kedokteran dari negara asalnya. Barulah diberikan uji kompetensi apakah dokter tersebut benar-benar sesuai dengan kompetensinya dan kemampuannya dibutuhkan oleh Indonesia.

“Supaya kita bisa belajar juga, bisa mendatangkan juga dan kemudian hal itu bisa menambah kompetensi (dokter). Kita tidak mempersulit, tapi harus ada selective barrier, harus ada upaya regulasi yang bener-bener strict, rigid untuk siapa? Untuk kepentingan pelayanan kesehatan, untuk patient safety masyarakat Indonesia,” tutup Adib.

Tak hanya jumlah dokter, lanjut Adib, saat ini pelayanan kesehatan Indonesia juga sedang dihadapkan dengan masalah-masalah lain seperti maldistribution, ada disparitas pelayanan kesehatan, efektivitas pelayanan kesehatan, serta kapasitas tata kelola yang berkaitan dengan mutu. Hal ini juga yang harus menjadi perhatian ke depannya.(*)