“Kita merencanakan untuk mencetak generasi cerdas untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, tetapi persoalan mendasar soal terpenuhinya kecukupan gizi anak bangsa belum bisa teratasi. Harus ada upaya yang konsisten dan terukur untuk atasi kecukupan gizi bagi generasi penerus bangsa,” kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (6/4/202).
Dalam diskusi daring bertajuk ‘Mengantisipasi Generasi yang Hilang Akibat Stunting’ itu, Ririe, sapaan akrab Lestari pun menyebutkan saat ini Indonesia masih memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi dengan 24,4%. Dengan demikian, maka satu dari empat anak di Indonesia mengalami stunting. Angka ini pun masih di atas standar yang ditoleransi WHO yakni di bawah 20%.
Menurutnya, target pengentasan stunting pun jangan hanya dilihat dari kumpulan angka-angka. Lebih dari itu, pengentasan stunting harus dapat direalisasikan dalam berbagai langkah. Masalah stunting, tambahnya, bukan hanya sekadar soal kesehatan semata, melainkan juga dapat mempengaruhi ketahanan bangsa.
“Bagaimana generasi penerus yang kekurangan gizi bisa mempertahankan kedaulatan negeri ini?” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI Erna Mulati mengungkapkan Indonesia mengalami double burden terkait kekurangan gizi baik secara mikro maupun makro nutrisi.
Menurut Erna, ancaman stunting akan semakin besar pascabalita mendapatkan makanan tambahan. Untuk itu, pihaknya juga telah berupaya melakukan intervensi gizi sebelum kelahiran dan setelah bayi lahir. Intervensi ini, tambahnya, ditujukan kepada para remaja putri dan ibu hamil melalui pemberian tablet tambah darah dan tambahan asupan gizi.
Adapun intervensi gizi setelah kelahiran dilakukan lewat pemberian ASI eksklusif dan makanan pelengkap ASI. Terkait sasaran intervensi gizi, saat ini Erna menyebut pihaknya telah mencatat setidaknya 12 juta remaja putri dan 4,8 juta Ibu hamil.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene juga mengatakan bahwa upaya mengatasi stunting merupakan hal yang penting. Hal ini mengingat dampak stunting yang dapat menekan PDB sebesar 3% per tahun.
Lebih lanjut, dirinya pun mengatakan bahwa harus ada upaya serius yang dilakukan semua pihak melalui program yang spesifik, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi.
“Sangat diperlukan program spesifik yang punya daya angkat, sehingga harus ada konvergensi antar sektor untuk mewujudkan Indonesia dengan prevalensi stunting yang lebih baik,” kata Felly.
Kepala BKKBN Republik Indonesia Hasto Wardoyo pun turut menegaskan bahwa kualitas SDM perlu menjadi perhatian bersama. Menurutnya, perbaikan kualitas keluarga memerlukan kualitas SDM anggota keluarga yang baik. Pembangunan SDM juga harus jadi super prioritas dan tidak bisa ditawar lagi.
Kemudian Rektor Universitas YARSI sekaligus pakar gizi Fasli Jalal berpendapat upaya untuk mencegah stunting memerlukan asupan gizi yang cukup dalam waktu lama. Termasuk juga pengasuhan yang baik dan ketersediaan pangan yang memadai di tingkat rumah tangga.
Fasli menilai, dari 22% kondisi bayi yang mengalami stunting sejak lahir, bisa dipangkas lewat intervensi gizi di tingkat remaja putri dan Ibu hamil. Dengan langkah itu, maka ada peluang penurunan angka stunting 10%-12%.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem Amelia Anggraini lantas mengingatkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi stunting. Dengan demikian, semua pihak harus terlibat dalam upaya perbaikan angka stunting ke arah yang lebih baik. Menurutnya, perlu sinergi antarlembaga yang lebih baik dan pemutakhiran data agar upaya menekan angka stunting tepat sasaran.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah 2016-2020 Dyah Puspitarini menilai masalah stunting di Indonesia erat dengan budaya yang ada di tanah air. Sehingga pendekatan dari sisi intervensi budaya juga sangat diperlukan.
Wartawan senior Saur Hutabarat pun menilai solusi program untuk mengatasi stunting sudah sangat jelas. Hanya saja, intervensi skala mikro di tingkat desa belum ada gambaran yang jelas terkait desa dengan jumlah penderita stunting.
Selain itu, diperlukan juga imbauan atau larangan iklan susu untuk bayi 0-6 bulan agar memaksimalkan pemberian ASI eksklusif. Upaya lain yang harus dilakukan, adalah mencegah pernikahan dini, karena ketidaksiapan Ibu untuk melahirkan merupakan salah satu penyebab bayi lahir dengan stunting.