Tantangan Lebih Bagi Warga Indonesia Berpuasa di Tengah Panasnya Australia

0
ilustrasi cuaca panas
Jakarta – Ryan Zuhri, warga Indonesia yang bekerja di bidang konstruksi di Australia Selatan mengatakan puasa kali ini lebih menantang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Hari Selasa [awal Ramadan] suhu mencapai 36 atau 34 derajat Celcius dan tidak ada angin,” katanya.

“Hampir pingsan saya.”

Dengan suhu yang panas, melakukan pekerjaan berat, dan kewajiban puasa, Ryan mengaku ia harus pandai-pandai mengatur waktu istirahat.

“Kalau misalnya sudah agak sempoyongan, ya berhenti dulu, terus mulai lagi, gitu lagi, berhenti lagi,” katanya.

“Kalau memang harus full power [tenaga penuh] terus enggak bisa puasa.”

Meski musim panas di Australia sudah berakhir, namun sejumlah tempat, seperti di kota Adelaide dan Melbourne, masih mencatat suhu tinggi di siang hari yang bisa naik hingga 20 derajat Celcius di atas suhu rata-rata.

Beberapa titik di pedalaman bahkan memiliki suhu paling rendah setinggi 40 derajat Celcius, sehingga masih ada peringatan kebakaran hutan.

Suhu terpanas di Adelaide, ibu kota Australia Selatan tercatat pada hari Sabtu pekan lalu (9/03), yang mencapai 40 derajat Celcius.

Karenanya hingga 1 Ramadan, yang jatuh Selasa kemarin (12/03), suhu udara bertahan di kisaran 36 derajat Celcius.

Namun Ryan merasa beruntung karena bos-nya juga adalah orang Muslim, yang sama-sama berpuasa.

“Ia lebih tolerir,” katanya.

“Begitu saya bilang, ‘Sorry, saya harus berhenti sebentar, sudah mulai kunang-kunang’, ia bilang, ‘Oh ya, berhenti aja … enggak apa-apa, duduk saja.'”

Walau dijemur matahari, Ryan memutuskan tetap berpuasa meski ia tahu ada pilihan untuk tidak melakukannya.

Keputusan ini berbeda dengan dua orang teman kerjanya yang memilih untuk tidak berpuasa hari itu.

“Kalau kayak kemarin saya hampir black out [pingsan] itu sebenarnya boleh buka. Karena sudah menyakiti diri sendiri, gitu kan?” katanya.

“Tapi kalau istilahnya kayak, ‘Ah enggak apa-apa, saya istirahat dulu, saya coba dulu’ dan ternyata bisa, ya lebih baik.”

Puasa paling menantang

Pengalaman Ryan berbeda dengan warga Indonesia lainnya di Adelaide, yaitu Nazira Andjani, akrab disapa Jani.

Jani bekerja sebagai business support officer di Adelaide Festival Centre dan menghabiskan waktu kerjanya di dalam ruangan ber-AC.

Tapi tetap saja ada tantangannya.

“Waktu hari pertama [Ramadan] walaupun saya bekerja di kantor … saya harus commute [berangkat] dari rumah ke kantor naik bus,” kata Jani.

“Itu sudah terasa panas banget.”

Jani yang sudah empat tahun tinggal di Adelaide mengatakan puasa tahun ini adalah yang tersulit, karena jatuh setelah musim panas baru berakhir.

Australia memiliki 4 musim, yang satu musim bertahan tiga bulan. Musim panas di Australia dimulai Desember hingga Februari, tapi suhu di bulan Maret masih tinggi.

“Tiga tahun pertama itu puasanya waktu musim dingin dan belum daylight saving,” katanya.

“Jadi ini puasa pertama saya yang daylight saving dan panas.”

‘Daylight saving’ terjadi di saat musim panas, saat waktu dimundurkan satu jam agar tetap memanfaatkan sinar matahari.

Ini berarti siang lebih panjang dan orang-orang akan terekspos kepada sinar matahari lebih lama.

“Kalau kita bandingkan dengan Indonesia, mungkin puasa sekitar 13 jam, kalau kita agak lebih lama,” katanya.

“Tapi Alhamdulillah ya orang-orang kantor pun terbuka dan suportif dengan keyakinan saya … mereka menyemangati.”
Puasa di rumah sepanjang siang

Sementara itu, mahasiswi University of Adelaide, Nurul Nadjmie, akrab disapa Iyun mengaku baru beraktivitas di luar ruangan pada sore hari.

“Kelas saya kebetulan sore, jadi siangnya agak santai,” kata Iyun.

“Jadi pas panas enggak perlu keluar-keluar.”

Iyun mengatakan ia berbuka puasa saat jam kuliah, yaitu pada pukul 19.39 waktu Adelaide.

Dengan puasa yang lebih lama, ia pun mempersiapkan dirinya lebih baik setelah berbuka dan menjelang sahur.

“[Persiapannya] lebih banyak minum dibandingkan biasanya,” katanya.

“Kalau misalnya di Indonesia dulu paling minum beberapa gelas, kalau sekarang minumnya tumblr yang 750ml sampai tiga kali.”

Sementara itu Ryan dan Jani mengatakan mengonsumsi vitamin untuk menjaga kondisi tubuh sepanjang hari.

Kekeluargaan tetap terasa di perantauan

Walau dalam profesi dan kegiatan yang berbeda-beda saat berpuasa, ketiga warga Indonesia ini tetap menjalankan kebiasaan yang serupa dengan di Indonesia saat bersiap atau mengakhiri puasa.

“Kebetulan saya serumah sama teman-teman dari Indonesia dan Muslim juga, jadi kami puasa bareng,” kata Iyun.

“Kami menyiapkan makanan bersama-sama, ada yang membangunkan juga kalau misalnya ada yang belum keluar kamar.

“Jadi kekeluargaannya masih dapat sih kalau saya, Alhamdulillah.”

Hal yang sama juga dirasakan oleh Jani.

“Di sini kan masih kenal beberapa orang Indonesia, jadi kita masih keep up sama tradisi di Indonesia yang sebelum puasa ketemu orang-orang dulu, atau ketemu untuk makan,” katanya.

“Jadi sebelum puasa kita ketemu sama beberapa teman-teman, menyambut bulan puasa.”

(ita/detik)