Tersandung Korupsi, Eks PM Malaysia Najib Razak Ingin Maju Lagi di Pemilu

0
Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak (Foto: DW News)

Kuala Lumpur

Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak tak menampik terkait keinginan pencalonan dirinya ke parlemen dalam dua tahun ke depan. Dia menyebut tak terpengaruh meski sedang terjerat kasus korupsi saat ini.

Seperti dilansir Reuters, Minggu (19/9/2021) Partai yang menaungi Najib, Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), memenangkan kursi perdana menteri bulan lalu. Kemenangan itu terjadi setelah partai tersebut digulingkan dari kekuasaan tiga tahun lalu karena skandal multi-miliar dolar Amerika Serikat.

Kemenangan tersebut memicu kekhawatiran pihak oposisi. Mereka khawatir akan terjadi keringan hukuman kepada para pemimpin partai setelah pemerintahan kembali dikendalikan UMNO.

Pada tahun lalu, Najib dijatuhi hukuman 12 tahun penjara terkait sejumlah kasus penyelewengan dana negara yang berasal dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Najib pun membantah tuduhan tersebut dan telah mengajukan banding, sambil menyerukan penyelidikan atas penuntutannya, yang menurutnya bermotif politik.

Saat ini Najib diketahui masih terdaftar sebagai anggota parlemen. Meski begitu, konstitusi melarangnya mengikuti pemilihan umum kecuali dia mendapat pengampunan atau penangguhan hukuman dari kerajaan.

Dalam wawancaranya dengan Reuters Sabtu (18/9) lalu, Najib menentang diskualifikasinya tersebut dan mengatakan “Itu tergantung interpretasi dari segi hukum, konstitusi dan apa pun yang terjadi dalam proses pengadilan,”.

Saat ditanya apakah dia akan mengikuti pemilu pada 2023 mendatang, Najib menjawab tegas.

“Setiap politisi yang ingin memainkan peran akan menginginkan kursi di parlemen.” katanya.

Dia menolak untuk menentukan bagaimana dia bisa mengatasi hambatan konstitusional tersebut.

Diketahui kini jabatan perdana menteri dipegang oleh Ismail Sabri, setelah Muhyiddin Yassin mengundurkan diri karena tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen Malaysia. Mundurnya Muhyiddin dilakukan lantaran dianggap gagal menangani pandemi COVID-19 yang memicu lockdown dan ekonomi menurun.

(izt/knv/detik)