Hujan lebat, cuaca panas, dan hujan es yang terjadi baru-baru ini telah merusak infrastruktur, tanaman pertanian, dan membahayakan ternak di seluruh negara itu. Cuaca ekstrem juga menyusahkan hidup sekitar 1,4 miliar orang di Cina dan menimbulkan ketakutan akan dampak nyata perubahan iklim.
Hujan di wilayah pedalaman Mongolia menyebabkan banjir bandang pada hari Minggu (02/07) yang menewaskan satu orang dan menyebabkan dua orang hilang, lapor media CCTV.
Sementara di wilayah Cina selatan, termasuk provinsi barat daya Guizhou, sejak hari Jumat (30/06), petugas penyelamat berjuang mengungsikan warga setempat dan hewan ternak ke tempat aman dari banjir dan tanah longsor, lapor media pemerintah CGTN.
Hujan deras mengguyur sebagian Provinsi Yunnan selama akhir pekan, menyapu mobil warga di jalan-jalan yang tampak seperti sungai, lapor media. Tanah longsor di Provinsi Sichuan, di barat daya, menewaskan beberapa orang pekan lalu.
Daerah Xiangxi di Provinsi Hunan bagian selatan diguyur hujan terus-menerus dan menderita kerugian ekonomi sekitar 575 juta yuan atau sekitar Rp1,2 triliun. Lebih dari 95,000 warga dan 6.648,34 hektare tanaman terkena dampaknya, kata biro darurat dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, Cina utara tetap dicengkeram cuaca panas luar biasa yang terjadi lebih awal dari biasanya dan di wilayah yang lebih luas, lapor media pemerintah, mengutip Pusat Iklim Nasional.
Cuaca panas diperkirakan akan berlangsung selama 10 hari lagi, kata media pemerintah, ketika orang-orang yang jengkel memposting kekesalan mereka di media sosial.
“Saya muak melihat istilah suhu panas,” tulis seseorang. “Saya bahkan tidak bisa menangis, air mata saya menguap,” tulis warga lain.
Beijing melaporkan suhu melebihi 35 derajat Celsius selama 9,8 hari berturut-turut, Pusat Iklim Nasional mengatakan pada hari Senin. Cuaca ekstrem seperti ini terakhir kali tercatat pada tahun 1961, puluhan tahun sebelum sebagian besar penduduk Beijing memiliki AC atau bahkan kipas angin.
Kurangnya curah hujan diperkirakan berkontribusi terhadap cuaca panas. Ibu kota ini pun diperkirakan akan menerima lebih sedikit curah hujan pada tahun ini.
Selama berminggu-minggu, badan perkiraan cuaca juga telah memperingatkan akan potensi cuaca konvektif yang kuat, yang sering kali disertai badai petir. Cuaca ekstrem terjadi tidak lama setelah utusan iklim Amerika Serikat, John Kerry, diperkirakan akan segera tiba di Cina untuk melakukan diskusi iklim antara kedua negara sebagai negara penghasil emisi terbesar dan dinilai rentan dampak perubahan iklim.
ae/hp (Reuters, AP)
(ita/detik)