Dikutip dari Science Alert, dalam makalah pada 2014, muncul laporan yang menyebut sistem pengiriman nikotin dari rokok elektrik ‘hanya’ 4 persen dari bahaya relatif maksimum rokok. Namun penulis mengklaim, temuan tersebut masih terbatas pada tahap awal karena mereka belum ada bukti yang kuat.
Bahkan lebih lanjut, sempat juga beredar informasi yang menyebut, rokok elektrik 95 persen lebih tidak berbahaya dibandingkan rokok tembakau. Benar saja, semua informasi tersebut rupanya salah.

Mengacu pada catatan editorial The Lancet, perkiraan tersebut berdasarkan kepada pendapat sekelompok kecil individu yang tidak memiliki keahlian khusus dalam pengendalian tembakau. Bahkan, informasi tersebut hampir tidak memiliki bukti sama
Dikutip dari laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), memang benar ada informasi yang menyebut efek rokok elektrik lebih ringan dibandingkan rokok konvensional. Namun, bukan berarti penggunaan rokok elektrik dapat diasumsikan aman.
Memang, aerosol dari rokok elektrik umumnya mengandung lebih sedikit bahan kimia beracun daripada campuran mematikan dari 7.000 bahan kimia dalam asap rokok konvensional. Namun, aerosol rokok elektrik mengandung zat berbahaya dan berpotensi berbahaya, termasuk nikotin, logam berat seperti timbal, senyawa organik yang mudah menguap, dan agen penyebab kanker.
Dalam kesempatan sebelumnya, spesialis paru RS Persahabatan dan Ketua Pokja Infeksi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Erlina Burhan, SpP(K) menjelaskan kadar nikotin dan zat berbahaya pada rokok elektrik memang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
Namun diluruskannya, rokok elektrik bukanlah pengganti rokok konvensional. Sebab kecenderungannya, pengguna rokok elektrik akan tetap menghisap dalam jumlah banyak. Ujung-ujungnya, nikotin yang terhirup sama saja kadarnya dari penggunaan rokok konvensional.
“Salah satu penelitian menyebut lebih dari sama dengan 30 hisapan itu nikotin yang dihantarkan itu sama dengan jumlahnya dengan satu batang rokok,” terang dr Erlina dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.
“Memang kadarnya (nikotin) rendah tapi pada kenyataannya ternyata orang terjebak dengan kata-kata kadar nikotin dan zat-zat kimia menjadi lebih rendah. Jadi memang sama-sama menimbulkan kecanduan juga,” imbuhnya.
“Rokok elektrik ini awalnya waktu pertama kali diciptakan memang didesain untuk transisi para perokok yang biasa untuk berhenti merokok. Ya sudah pakai vape dulu yang diinhalasi karena kadarnya dibikin rendah. Komponennya juga nggak sebanyak rokok,” ujar dr Erlina.
“Didesain seperti itu tapi pada kenyataannya justru banyak gagalnya. Orang malah kecanduan juga dengan cara-caranya bahkan justru lebih sering menghisapnya. Sebagian tidak bisa meninggalkan rokok konvensional malah pakai dua-duanya. Itulah yang dikatakan e-cigar atau vape ini gagal dipakai sebagai alat untuk berhenti merokok,” pungkasnya.
(vyp/detk)




