Dilansir kantor berita AFP, Selasa (16/5/2023), Topan Mocha yang membawa angin berkecepatan hingga 195 kilometer (120 mil) per jam, mendarat pada hari Minggu (14/5) lalu, merobohkan tiang-tiang listrik dan menghancurkan perahu-perahu nelayan kayu menjadi serpihan.
“Kami dapat memastikan ada 17 kematian,” kata Karlo, pengurus desa Bu Ma, dekat ibu kota negara bagian Sittwe, kepada wartawan AFP di tempat kejadian.
“Akan ada lebih banyak kematian, karena lebih dari seratus orang hilang,” imbuhnya.
Desa ini dihuni oleh warga minoritas Muslim Rohingya.
Jumlah kematian di Bu Ma tersebut berada di atas jumlah kematian 24 orang yang diberikan kepada AFP oleh seorang pemimpin desa Rohingya di desa Khaung Doke Kar, dekat Bu Ma.
Pemimpin desa itu meminta identitasnya dirahasiakan karena takut pembalasan dari junta militer.
Junta militer Myanmar mengatakan pada hari Senin (15/5) bahwa lima orang telah tewas, tanpa menyebutkan secara pasti di mana mereka tewas.
Tidak jelas apakah korban tewas yang disebut junta Myanmar termasuk mereka yang tewas di Bu Ma dan Khaung Doke Kar.
Kantor pengungsi PBB mengatakan sedang menyelidiki laporan bahwa Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian tewas dalam topan tersebut.
“UNHCR sedih mendengar laporan kematian di kamp-kamp pengungsian di Negara Bagian Rakhine setelah Topan Mocha,” kata UNHCR dalam sebuah pernyataan.
UNHCR menambahkan bahwa pihaknya “berusaha melakukan penilaian terperinci di kamp-kamp dan lokasi-lokasi pengungsian untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang situasi tersebut”.
(ita/detik)