Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menerangkan, uang elektronik dan dompet digital (e-wallet) selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Dwi menuturkan pengenaan pajaknya bukan pada nilai pengisian uang (top up), nilai saldo (balance) atau nilai transaksi jual beli. Tetapi dikenakan pada konsumen atas penggunaan jasa layanan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
“Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru,” kata dia kepada detikcom, Jumat (20/12/2024).
Sebagai contoh, jika seseorang bernama Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp 1.000.000 dan biaya top up misalnya Rp1.500, maka jika PPN 11%, perhitungannya adalah sebagai berikut, 11% x Rp 1.500 = Rp165.
Maka PPN 11% ini akan dikenakan kepada konsumen sebesar Rp 165 setiap transaksi. Artinya biaya transaksi top up Rp 1.000.000 itu selain dikenakan biaya top up Rp 1.500, ditambah juga biaya PPN. Jadi, Rp 1.001.665.
Kemudian, dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut, 12% x Rp 1.500 = Rp180. Artinya biayanya menjadi 1.001.680.
Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15. Maka biaya PPN 12% ini akan dikenakan setiap transaksi dengan nominal berapapun.
Contoh lain, Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp 500.000. Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut, 11% x Rp 1.500 = Rp 165. Maka transaksinya menjadi Rp 501.665.
Dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut, 12% x Rp 1.500 = Rp 180. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15. Transaksinya menjadi Rp 501.680.
“Berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama,” pungkasnya.
(ada/eds)