Waket MPR Minta Istilah ‘Subsidi Haji’ & ‘Bantuan Sosial’ Dihentikan

0
Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Anggota Komisi VIII DPR-RI membidangi urusan agama dan sosial Hidayat Nur Wahid mengkritisi penggunaan istilah subsidi haji dan istilah bantuan sosial dalam program penanganan fakir miskin. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 atau UU terkait lainnya.

“Karena itu, pemakaian istilah subsidi haji dan subsidi sosial berpotensi memunculkan salah persepsi. Seolah-olah Negara mensubsidi jemaah untuk biaya naik haji dan membantu Rakyat,” kata Hidayat Nur Wahid dalam keterangan, Jumat (29/4/2022).

Sehingga mengesankan hubungan yang timpang antara negara dan rakyat. Padahal sejatinya uang yang dibayarkan untuk biaya ibadah haji adalah dana jemaah haji sendiri bukan dari APBN.

“Seharusnya salah kaprah penggunaan istilah ‘subsidi haji’ dan ‘bantuan sosial’ dikoreksi. Dan diganti dengan istilah lain yang lebih sesuai dengan UU dan fakta lapangan. Misalnya bisa digunakan istilah ‘distribusi nilai manfaat’ untuk pengelolaan keuangan haji dan istilah ‘jaminan sosial’ serta ‘transfer tunai’ untuk program penanganan fakir miskin,” katanya.

Ia menilai penggunaan istilah subsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji yang masih digunakan dalam keterangan terbaru BPKH (25/4/2022) berakar dari ketidakmampuan Pemerintah untuk mencapai tingkat pengembalian (return) standar dalam mengelola keuangan haji.

Jika return setoran awal jamaah bisa mencapai rata-rata 6% per tahun saja, maka selama menunggu antrian/waktu tunggu menuju berangkat haji, misalnya 25 tahun, maka dana tersebut akan berkembang menjadi lebih dari Rp 80 juta. Jumlah yang sangat cukup untuk ongkos haji, bahkan masih ada kembaliannya.

“Ketidakmampuan mencapai return standar tersebut menyebabkan hasil nilai manfaat harus didistribusikan dari jamaah tunggu kepada jamaah berangkat. Tetapi sekalipun demikian, distribusi tersebut tetap murni berasal dari uang jamaah haji, bukan merupakan subsidi negara, sehingga tidak layak disebut sebagai subsidi,” tambahnya.

Berdasarkan data daftar tunggu calon jamaah haji yang dikeluarkan oleh Ditjen PHU Kemenag tahun 2021 rata-rata jadwal tunggu calon jamaah haji mencapai 14 tahun dan paling lama 36 tahun. Oleh karena itu jika dirata-rata jadwal tunggu keberangkatan adalah 25 tahun.

Akan tetapi karena 2 tahun tidak ada pemberangkatan dan tahun ini Indonesia hanya mendapatkan kuota 50% saja maka waktu tunggu calon haji yang sudah menyetorkan biaya ke bank tahun 2022 mencapai 5,1 juta orang akan semakin lama. Namun nilai manfaatnya juga jadi bertambahnya lebih besar lagi.

Ia menjelaskan, hal itu dibuktikan dana kelola haji oleh BPKH mengkat drastic dari Rp 124,3 triliun di 2019 menjadi Rp 158,8 triliun di 2021.

“Oleh karena itu saya dan Fraksi PKS di Komisi VIII DPR-RI berulang kali mengkritisi penggunaan istilah subsidi haji karena mengesankan adanya subsidi negara dalam biaya haji. Atau bahwa jemaah yang berangkat haji tak penuhi syarat haji, istitha’ah, kemampuan material, padahal kenyataannya jemaah mampu, dan yang diberikan adalah manfaat dari setoran yang sudah dibayarkan oleh setiap jemaah ke bank, sejak beberapa tahun sebelumnya, itu adalah distribusi nilai manfaat dari uang kelolaan jamaah haji. Apalagi dalam UU 34/2014 tentang Keuangan Haji juga tidak ada istilah subsidi. Agar tak menimbulkan salah paham, istilah “subsidi” tersebut agar tidak dipakai lagi dan diganti dengan istilah yang sesuai UU,” katanya.

Sementara itu untuk penanganan fakir miskin, penggunaan “bantuan sosial” juga dinilai kurang tepat kalo mengacu pada UUD dan UU. UUD NRI 1945 pasal 34 jelas mengatur istilah jaminan sosial dan pemberdayaan. Istilah tersebut konsisten digunakan pada UU 13/2011 tentang penanganan fakir miskin, di pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa penanganan fakir miskin dilakukan diantaranya melalui pemberdayaan kelembagaan masyarakat, jaminan dan perlindungan sosial.

Menurutnya, program yang dilaksanakan Kementerian Sosial selama ini bukan merupakan bantuan dari menteri atau presiden, namun bersumber dari APBN.

“Sehingga sangat tidak tepat disebut sebagai bantuan. Sebaiknya disesuaikan dengan istilah yang tepat dan digunakan secara global. Yakni istilah bantuan sosial dikembalikan menjadi jaminan sosial (social security). Dan istilah bantuan langsung tunai menjadi transfer tunai (cash transfer),” katanya.

Hidayat Nur Wahid meminta penggunaan istilah “subsidi haji” dan bantuan sosial” dihentikan. Hal ini untuk menjalankan amanat konstitusi.

“Kami mendesak agar kesalahan penggunaan istilah ‘subsidi haji’ dan ‘bantuan sosial’ ini segera diakhiri. Segera diubah dengan istilah yang sesuai UU, agar menghilangkan persepsi yang salah. Dan agar UU benar-benar ditaati dan dilaksanakan secara sepenuhnya oleh Pemerintah. Karena hakekatnya BPKH maupun Kemensos bukanlah lembaga sosial yang memiliki sumber keuangan mandiri untuk mensubsidi maupun membantu masyarakat. Melainkan lembaga negara yang diberi kuasa anggaran dari uang rakyat baik dari setoran biaya haji maupun dari pajak, untuk menjalankan amanat konstitusi yang di antaranya adalah melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk calon haji. Dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial,” tutupnya.

(ega/ega/detik)