Dilansir The Associated Press, Minggu (13/2/2022) para demonstran berkumpul di Masjid agung Eid Gah di Kabul meminta kompensasi finansial kepada AS atas tewasnya puluhan ribu warga Afghanistan yang tewas selama 20 tahun terakhir akibat perang. Mereka menyebut dana Rp 50 triliun itu adalah milik warga Afghanistan.
“Bagaimana dengan rakyat Afghanistan kita yang telah memberikan banyak pengorbanan dan ribuan korban jiwa?” tanya penyelenggara demonstrasi, Abdul Rahman, seorang aktivis masyarakat sipil.
“Uang ini milik rakyat Afghanistan, bukan Amerika Serikat. Ini adalah hak warga Afghanistan,” katanya.
Sementara separuhnya lagi akan disita untuk mendanai pembayaran pemerintah AS dalam gugatan hukum yang diajukan keluarga-keluarga korban serangan 9 September 2001 yang masih berlangsung di pengadilan-pengadilan AS. Diketahui, banyak keluarga korban tewas atau korban luka dari serangan 9/11 yang terjadi 20 tahun lalu masih berjuang mendapatkan kompensasi dari Al-Qaeda dan pihak-pihak lainnya yang bertanggung jawab.
Dalam sebuah pernyataan, Bank Sentral Afghanistan meminta Biden untuk membatalkan perintah tersebut dan mengeluarkan dana yang dinilai milik rakyat Afghanistan dan bukan pemerintah, partai atau kelompok tertentu.
Torek Farhadi, seorang penasihat keuangan untuk mantan pemerintah Afghanistan yang didukung AS, mempertanyakan pengelolaan cadangan Bank Sentral Afghanistan oleh PBB. Dia mengatakan dana itu tidak dimaksudkan untuk bantuan kemanusiaan tetapi “untuk mendukung mata uang negara, membantu dalam kebijakan moneter dan mengelola neraca pembayaran negara.”
Dia juga mempertanyakan legalitas perintah Biden.
“Cadangan ini milik rakyat Afghanistan, bukan Taliban… Keputusan Biden sepihak dan tidak sesuai dengan hukum internasional,” kata Farhadi. “Tidak ada negara lain di Bumi yang membuat keputusan penyitaan seperti itu tentang cadangan negara lain.”
“Pencurian dan penyitaan uang yang ditahan atau dibekukan oleh Amerika Serikat dari rakyat Afghanistan menunjukkan level kemanusiaan terendah dan kerusakan moral dari sebuah negara dan sebuah bangsa,” ujar juru bicara Taliban Mohammad Naeem dalam pernyataan via Twitter.
“Tapi kekalahan terbesar dan paling memalukan adalah ketika kekalahan moral digabungkan dengan kekalahan militer,” ucapnya menyindir AS.